Bab 13 : Lokasi Pedang Sihir
Malam melingkupi istana Valoria seperti jubah hitam pekat. Udara terasa berat, seolah menahan napas dalam diam. Lucian melangkah pelan di lorong belakang istana, langkahnya nyaris tak bersuara di atas lantai batu. Ia mengenakan jubah gelap yang membuatnya hampir menyatu dengan bayangan di sekelilingnya.
Tujuannya jelas—menemukan lokasi pedang sihir yang selama ini menjadi legenda di antara para penyihir kuno. Pedang itu bukan hanya simbol kekuatan, melainkan kunci untuk membuka kekuasaan yang lebih besar.
Lucian berhenti di depan sebuah pintu tua di ujung lorong, ukuran di permukaannya tampak aus oleh waktu. Ia menyentuh kayu itu perlahan, merasakan energi kuno yang berdesir di ujung jarinya.
“Pedang ini disembunyikan di dekat sini,” gumamnya. “Tepat seperti yang disebutkan dalam Kisah Eldara.”
Kisah itu selalu menggema di benaknya: Di bawah tanah yang terlupakan, di tempat di mana cahaya tak pernah menyentuh, pedang akan menunggu pemilik sejatinya.
Lucian mendorong pintu itu perlahan. Pintu tua itu berderit, membuka jalan menuju tangga batu yang menurun ke kegelapan. Aroma lembap dan debu segera menyergapnya.
Tangga itu seolah tak berujung, setiap langkahnya terdengar seperti detak jantung di tengah kesunyian. Lucian menyalakan obor kecil yang ia bawa, cahaya redupnya menari di dinding-dinding sempit.
Setelah beberapa saat, ia tiba di sebuah ruangan bundar dengan dinding batu yang dipenuhi simbol-simbol misterius.
“Ini dia!” Lucian berbisik, matanya menyala penuh rasa puas. “Altar penanda pedang sihir.”
Ia mendekati altar itu, matanya memindai setiap simbol yang terukir di permukaannya. Jarinya mengikuti garis-garis ukuran, mencari petunjuk lebih lanjut. Di sudut altar, ia menemukan simbol matahari dan bulan yang saling bertautan—sebuah simbol yang ia kenali dari catatan kuno.
“Tepat seperti yang aku duga,” gumamnya. “Pedang itu disembunyikan di dekat danau di luar istana, di bawah akar pohon tua yang menghadap ke timur.”
Sebelum ia bisa melanjutkan, suara langkah kaki bergema dari tangga. Lucian segera memadamkan obornya, menyatu dengan bayangan di sudut ruangan. Ia menahan napas, matanya memperhatikan sosok yang muncul di ambang pintu.
“Siapa di sana?” Suara berat milik seorang penjaga istana memecah keheningan. Obor di tangan penjaga itu menerangi ruangan, tapi tidak cukup untuk mengungkap keberadaan Lucian.