Bab 14 : Sisi Melankolis
Seraphina mendekati Pangeran Adrian. “Yang Mulia suka berada di sini sendirian?”
Adrian sedikit tersentak, menoleh dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran kejutan dan sesuatu yang lebih dalam, lebih rapuh. “Ini tempat yang tenang. Kadang, ketenangan adalah satu-satunya yang tersisa.”
Seraphina duduk di ujung bangku, menjaga jarak tapi tetap cukup dekat untuk merasakan dinginnya emosi yang mengelilingi Adrian. “Apa yang Yang Mulia pikirkan?”
Adrian terdiam lama sebelum menjawab. “Kenangan.”
Ia menunduk, jari-jarinya menggenggam kuat tepi bangku kayu, seolah-olah itu bisa menahannya dari tenggelam dalam ingatan.
“Kenangan tentang seseorang yang pernah penting bagi Yang Mulia?” Seraphina menebak hati-hati, mengingat percakapan para pelayab yang ia dengar sebelumnya.
Adrian menatapnya sejenak, seolah menimbang apakah ia harus menjawab. “Putri Anya,” kata Adrian, suaranya serak. “Dia adalah seseorang yang pernah berarti. Sangat berarti.”
Seraphina merasakan ada kesedihan mendalam di balik nama itu, lebih dari sekadar rasa kehilangan biasa. “Yang Mulia sangat merindukannya, bukan?”
Adrian tersenyum kecil, tapi senyum itu tak pernah mencapai matanya. “Merindukan? Ya, mungkin. Tapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa aku tidak bisa mengubah apa pun. Aku kehilangan dia karena kesalahan orang lain dan itu menghancurkan segalanya.”
Seraphina ingin menghiburnya, tapi tak tahu harus berkata apa. Ia bisa merasakan dinding yang Adrian bangun di sekelilingnya—rapuh, tapi penuh dengan duri yang siap melukai siapa pun yang berusaha mendekat.
“Ada sebuah kisah kuno,” kata Seraphina, mencoba mengalihkan suasana. “Tentang seorang raja yang kehilangan cintanya di tepi sungai. Ia terus kembali ke tempat itu setiap hari, berharap bisa melihat bayangannya sekali lagi di air. Tapi yang ia lihat hanyalah dirinya sendiri yang semakin tua dan patah hati.”
Adrian menatapnya, seolah menyelami kata-kata Seraphina. “Dan apa yang terjadi pada raja itu?”
“Dia menyadari, satu-satunya cara untuk menghormati cinta itu adalah dengan hidup. Bukan dengan tenggelam dalam bayangan masa lalu.”