Bab 18 : Bayangan yang Mengintai
Malam semakin larut, udara dingin terasa menusuk hingga ke tulang. Seraphina dia duduk di sudut kamarnya, menatap surat tua di tangannya. Setiap kata yang tertulis seolah-olah menuntunnya lebih dalam ke rahasia masa lalu yang selama ini terkubur.
Sebelum ia sempat menyelesaikan baris terakhir, pintu kamarnya tiba-tiba terbuka tanpa diketuk. Evelyn muncul dengan senyum licik yang menghiasi wajahnya. Langkahnya anggun, tetapi sorot matanya penuh curiga.
“Seraphina. Kau belum tidur?” Evelyn melangkah masuk, seakan kamar itu miliknya. “Malam sudah begitu larut, dan di sini kau duduk sendiri tampak sangat sibuk.”
Dengan cepat, Seraphina melipat surat itu dan menyelipkannya di balik lipatan gaun. “Aku hanya sulit tidur,” jawabnya tenang meski detak jantungnya terasa seperti genderang perang.
“Benar begitu?” Evelyn mendekat, matanya menelisik ke setiap sudut ruangan. “Aku bisa bersumpah aku melihat sesuatu di tanganmu tadi, sesuatu yang menarik.”
“Aku tidak tahu apa yang kau maksud,” balas Seraphina dengan suara yang berusaha terdengan ringan.
Evelyn berdiri di dekat meja, tangannya meraih sebuah buku tua. Ia membuka-bukanya sembarangan, seperti mencari sesuatu yang tersembunyi di dalamnya. “Seraphina, kau tahu, terkadang rahasia kecil bisa membawa kita ke masalah besar.” Ia menutup buku itu perlahan, lalu menatap Seraphina lekat-lekat. “Apa kau menyimpan rahasia dari kami semua?”
“Jika aku punya rahasia,” kata Seraphina, matanya tajam menantang, “mungkin lebih baik daripada berbohong kepada diri sendiri, bukan?”
Senyum Evelyn perlahan memudar, digantikan tatapan dingin. Ia melangkah lebih dekat, hanya beberapa inci dari Seraphina. “Hati-hati dengan lidahmu, Seraphina. Istana ini penuh dengan orang-orang yang suka menyebarkan rumor. Kadang-kadang, rumor itu bisa menghancurkanmu jika kau tidak berhati-hati.”
“Terima kasih atas peringatannya,” jawab Seraphina, menahan diri untuk tidak mundur. “Tapi aku tidak takut pada rumor. Mereka hanya omong kosong, seperti banyak hal lain di istana ini.”
Evelyn tersenyum lagi, kali ini lebih dingin. “Kau memang gadis yang berani. Aku suka itu.” Ia membungkuk sedikit, suaranya berbisik. “Tapi ingatlah, keberanian kadang-kadang bisa menjadi pedang bermata dua.”
Seraphina membalas tatapan Evelyn tanpa berkedip. “Dan pedang itu bisa melukai siapa saja, termasuk mereka yang terlalu sering mengayunkannya.”
Hening menggantung di antara mereka. Ketegangan di ruangan itu nyaris terasa seperti tali yang siap putus kapan saja. Evelyn tertawa kecil, lalu berbalik menuju pintu.
“Aku akan pergi sekarang. Semoga kau bisa tidur nyenyak, Seraphina.” Ia menoleh sejenak sebelum menutup pintu. “Kita akan bertemu lagi dalam situasi yang lebih menarik, mungkin.”
Pintu tertutup dengan lembut, tetapi kata-katanya meninggalkan bekas yang tajam. Seraphina berdiri di tempatnya, mengatur napas yang hampir tak terkendali.