Kalau kata teman-temanku, enaknya punya pacar itu ialah punya seseorang yang akan memperhatikanmu sepenuhnya. Sepanjang waktu. Dia akan menjagamu, mengantar-jumput ketika sekolah, bertanya: sudah makan kamu, Yang? Atau: kok belum tidur, sih? Bahkan, ada juga yang dengan suka rela dijadikan 'pesuruh'. Mengantarkan ke sana-ke mari, menjadi ajang pamer para perempuan, mendengarkan keluh-kesah para perempuan. Bodoh! Itu namanya pacar rasa kacung.
Akan tetapi, ketika aku berkata demikian. Teman-temanku bertubi-tubi menyalahkanku. Mereka memakiku. Katanya, aku hanya iri. Tidak menerima kenyataan jikalau tidak ada lelaki yang mau padaku. Ya, mereka saja yang tidak tahu jikalau aku juga punya pacar. Lagi pula kenapa aku harus seperti mereka yang mengumumkan siapa pacarnya. Toh, nyatanya pacarku lebih segalanya dibandingkan pacar mereka.
Pacar pertamaku adalah seorang mantan ketua OSIS. Mahendra, dia anak IPA-1. Sayangnya dia sudah lulus tahun lalu. Durasi pacaran kami pun terbilang cukup sebentar. Hanya sebulan. Padahal, aku memaklumi setiap kesibukannya. Bukan hanya mengurusi OSIS saja, dia juga harus mempersiapkan ujiannya. Memaksimalkan belajarnya. Dan, bukan aku yang mengajak putus terlebih dahulu. Melainkan Mahendra, katanya, dia tidak ada waktu untukku. Dia merasa menelantarkanku sebagai pacar. Walaupun menurutku, dia masih perhatian. Ya sudahlah... kami putus tepat ketika bazar sekolah dimulai.
Pacar keduaku adalah adik kelas. Awalnya, aku tidak tahu dia seorang adik kelas. Sebab, dia terlihat tegas dan dewasa.... Ternyata, hanya tampangnya saja yang dewasa, sikapnya masih kekanakan. Kami berpacaran hanya berlangsung tiga hari. Aku tidak tahan. Dia juga keras kepala. Akhirnya aku memutuskankanya ketika kami selesai nonton di bioskop.
Pacar ketigaku adalah mahasiswa fakultas kedokteran. Aku sempat dikatakan gila oleh teman sebangkuku karena hal ini. Katanya, tidak sepantasnya murid SMA kelas dua memacari seorang dosen yang bahkan umurnya melewati angka 25. Yeah, tetapi aku tidak pernah peduli akan hal itu. Lagi pula, bukan cuma-cuma aku berpacaran dengan mahasiswa itu. Toh, aku hanya ingin mengorek sedikit kepintarannya.
Mas mahasiswa itu--aku lupa siapa namanya--sering membantuku mengerjakan tugas sekolah. Terlebih jikalau hal itu berhubungan dengan submata pelajaran IPA; Fisika, Kimia, Biologi. Tanpa aku minta, dia pasti membantuku dengan senang hati. Bisa dibilang dia lebih mirip guru privatku dari pada pacar.
Bukankah, aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini?
Sementara, pacar keempatku adalah teman sekelasku sendiri. Hanya saja, dia 'anak kesayangan' guru yang berkutik sedikit saja akan ketahuan. Apalagi, jikalau sampai ketahuan berpacaran denganku. Bisa-bisa dia disidang di ruang guru. Ditanya macam-macam apakah aku memaksanya untuk jadi pacarku atau tidak. Ah tetapi, para guru itu pasti memilih opsi pertama. Bahwa aku yang memaksanya. Padahal kenyataannya dialah yang menembakku duluan di kantin.
"Nuria..."
Tunggu, aku mengenali suara ini. Aku pun memberhentikan langkah kakiku menuju kelas. Aku pun menoleh ke sumber suara. Dan melihat seorang gadis berlarian di sepanjang koridor. Rambutnya yang dikuncir kuda itu bergoyang-goyang. Surai-surai rambutnya pun ikut beterbangan. Sampai akhirnya dia menghentikan larinya dan berdiri tepat di depanku.
Gadis itu menunduk. Napasnya ngos-ngosan. Keringat bercucuran di pelilisnya. Aku tahu kebiasaannya ini. Setelah lari sebentar, gadis ini pasti langsung memegangi... bahkan kadang, memukul-mukul dadanya karena nyeri. Hm, heran saja melihatnya, kalau memang tidak kuat lari. Kenapa harus lari?
Dia pun memegang kedua pundakku, tetapi masih dengan posisi menunduk. Kemudian, aku mengambilkannya botol air minumku di kantong tasku sebelah kiri. Dan langsung aku sodorkan padanya. Dia pun mendongak dan langsung membuka tutup botol itu kemudian meminumnya hingga tersisa setengah. Kebiasaan gadis satu ini, ya....
"Kan aku bilang tunggu di parkiran. Kenapa malah ditinggal?"
Setelah mengatakannya, gadis itu pun merangkul pundakku. Dan kami pun mulai berjalan berdampingan hingga ke kelas.
"Kamu lama!"
Aku meletakkan tasku di atas meja, kemudian duduk di kursiku. Hal yang sama juga dilakukan gadis itu, tetapi dia malah memiringkan kursinya sehingga menghadap ke samping. Aku tahu, jikalau sudah begini pasti dia ingin memastikan sesuatu. Entah berhubungan denganku atau tidak, tetapi aku mesti menjawabnya. Katanya, aku adalah ladang informasi. Dia mengira aku sama dengan google kali, ya.
"Ria, kamu betulan mau nembak Faris?"
"Dia yang nembak aku duluan."
"Terus gimana dengan pacarmu yang kemarin?"