“Sudah? Yok kantin,” ajak Tory yang sejak tadi duduk menunggu Nola.
Ia bergegas berdiri seraya memasang jaket. Matahari di atas sana, enggan bersembunyi. Bahkan membuat para kumpulan awan berlari terbirit-birit. Hanya langit biru yang mampu bersanding dengannya. Padahal masih pukul sebelas.
Nola yang baru saja menutup pintu ruangan Bagian Keuangan itu segera mengangguk. Entah kenapa langkahnya terasa berat. Ada perasaan tidak rela meninggalkan amplop putih di sana. Dana sebesar itu harus dikembalikan, walaupun papa mengakuinya bahwa uang itu diambil dari tabungan.
Iya, tabungannya orang.
Mereka pun berjalan bersisian. Keluar dari gedung utama menuju pintu selatan yang terletak di sisi belakang. Melalui pintu selatan, mahasiswa bisa mengakses kantin dengan berjalan sejauh delapan meter ke arah dalam gedung. Pintu kaca besar yang terlihat ketika membuka pintu selatan itu pintar sekali merayu mahasiswa. Sehingga membuat banyak penjual di dalamnya meraup keuntungan.
Tory mendorong pintu kaca yang bertuliskan Pemadam Kelaparan. Seketika gelombang gemuruh langsung merambat. Suara sendok beradu dengan piring terdengar mengiringi pembicaraan yang tidak bisa ditangkap sebab terlalu banyak yang serupa.
Sayangnya, tidak akan ada aroma makanan yang tercium yang biasanya bisa menggugah selera. Sebab puluhan kipas penyedot asap sekaligus agar sirkulasi udara senantiasa segar, terpasang mengelilingi dinding tepat di atas jendela-jendela mati.
Jejeran meja dan kursi kayu di dalam ruangan yang persis sebuah aula ini selalu bisa memanggil mahasiswa untuk menempatinya. Mereka tidak akan membiarkan mahasiswa dari berbagai jurusan itu menikmati santapan lezat sambil berdiri.
Nola menunjuk satu meja di dekat kios penjual siomay. Tanpa pikir panjang, Tory setuju. Mereka melangkah bersama.
Seporsi siomay dan seporsi roti panglima keju sudah dipesan. Lengkap dengan dua gelas es jeruk.
Nola memutar-mutar gelang simpainya. Gelang khas Kalimantan yang didapatnya ketika berkunjung ke rumah nenek di Kalimantan Selatan ketika masih SD. Gelang simpai merupakan gelang khas Kalimantan yang terbuat dari akar pohon jangang. Gelang itu tidak bisa dipindah tangankan sebab langsung dianyam di tangan.
“Ini pesanannya,” kata pelayan kantin mengejutkan Nola.
“Ada apa lagi sih?” desis Tory curiga. Sementara tangannya sibuk menata piring siomay dan segelas es jeruk.
Giliran Nola menyambut piring dan gelasnya, setelah itu mengaduk es jeruk untuk kemudian meneguknya setengah gelas. Ia mulai mencubit roti panglima atau roti kasur khas Samarinda. Keju yang tumpah ruah, membuatnya harus meletakkan selembar tisu di atas meja.
Setelah melap sisa krimer kental manis di kedua sisi bibir, Nola mulai bercerita, “Semalam aku dengar papa nelepon seseorang. Aku gak tahu siapa. Yang jelas kedengarannya papa pinjam uang orang itu. Karena papa bilang secepatnya diganti.”
“Nah! Papamu aja berjuang untuk membahagiakanmu, masa –”
“Aku mau rawat papa, Tor! Cuma itu. Aku gak harus kuliah.”