Tory langsung menyambar jemari Nola yang sudah mengambang diudara siap menerima diska lepas yang disodorkan Moira. Ia terpaksa menyeret sahabatnya yang sepenuh hati ingin membantu Moira.
“Lepas, Tor!” geram Nola yang tidak dihiraukan.
Keluar pintu selatan, terus berjalan melewati area basemen hingga tiba di pintu utama.
“Gak lagi, La! Cukup!” bentak Tory akhirnya melepas genggaman.
“Please, La. Jangan lagi ngerjain tugas orang, apalagi cewek sinting yang tadi. Oke! Kamu baik hati, rajin menolong, gak pelit, tapi! Tapi lihat-lihat dulu lah,” ucap Tory serius. “kamu bukan perawat, bukan dokter yang harus selalu membantu orang yang terluka. Kamu itu cuma bantu mereka makin bodoh,” lanjutnya lagi.
Nola memperbaiki posisi tasnya yang melorot dari bahu. Kalimat Tory membuat perasaannya semakin kacau. Bagi Nola, menolak berarti siap menghadapi risiko.
Tanpa menatap Tory, ia melangkah ke dalam. Dengan langkah yang lemah, tetapi pasti, Nola tidak menghiraukan panggilan sahabatnya.
Yang tadinya meminta Nola untuk berhenti, mendadak berubah, “Nanti malam aku ke kafe. Aku ke kelas dulu!”
Tory pun langsung melesat menuju kelas melalui pintu timur, karena ia menerima pemberitahuan melalui WA grup kelasnya.
Nola hanya menangkap kalimat terakhir. Sedangkan janji akan ke kafe, itu mustahil terjadi. Kecuali jika Tory memang sedang melewati kafenya.
Karena tidak tahu hendak ke mana, langkah Nola berhenti di depan lift. Di kanan dan kiri, lorong yang dipenuhi pintu-pintu wewenang masyarakat kampus. Perpustakaan kampus, auditorium satu dan dua, sarana olahraga, koperasi yang satu-satunya menjual jasa fotokopi, ruang kesehatan, ruang konseling, ruang training, ruang pengembangan minat dan bakat, terakhir ruang rektor, dekan, dan ruangan-ruangan administrasi.
Di lantai dua khusus untuk jurusan ekonomi. Sedangkan apabila naik ke lantai tiga, ranahnya anak-anak jurusan TI dan di lantai empat, adalah kekuasaannya Kavi, ya, jurusan Manajemen Kuliner. Di mana di setiap ujung, ruangan yang terdekat dengan lift, adalah ruangan masing-masing ketua jurusan dan dosennya.
Telunjuk Nola mengarah ke angka empat pada papan angka di dinding samping lift.
Eh, ngapain aku ke atas? Gak ada kelas juga.
“Heh! Di sini rupanya,” kelakar Moira dari arah pintu utama.
Nola berbalik. Kabur pun percuma, hanya bisa mengumpat dalam hati. Tubuhnya mulai gemetar. Otaknya memikirkan bagaimana cara mengatakan jika ia mau mengerjakan tugas Moira.
Dalam sekejap, entakkan high heels itu berhenti di hadapan Nola. Sorot mata yang tidak disukai Nola itu tidak bergeser sedikit pun. Moira semakin mendekatkan wajahnya, mengamati wajah mungil Nola. Bahkan ia memegang dagu gadis yang kini semakin gemetar. Menggerakkannya ke kiri dan kanan.
“Sok kecantikan!” ucapnya seraya menghempas kasar dagu Nola.
Membuat Nola mundur setengah langkah.
Tiba-tiba lift berbunyi, di balik pintu yang baru terbuka setengah, baik Nola maupun Moira dan rombongannya sudah bisa melihat Kavi.
Diam-diam Nola berharap pertolongan. Namun, tidak mungkin langsung memeluk Kavi atau berteriak minta tolong. Pada akhirnya, hanya mampu memundurkan langkah agar Kavi bisa lewat. Sebuah senyuman saling bersambut.