Saat badai datang, jangan melawan angin—kuatkan layar, dan biarkan dirimu
belajar dari arahnya.
November 1965
MALAM itu, aku berdiri seolah di atas makamku sendiri, meski tubuhku masih hidup dan bernapas. Rasanya seperti tenggelam dalam kegelapan yang lebih dalam dari sekadar malam. Setiap langkah yang kuambil seolah diserap oleh gelap, seakan dunia di sekitarku menelan perasaan dan ketakutanku.
Langit di atas kami hitam pekat, tanpa bintang, tanpa rembulan. Aku mengikuti langkah Pa’e, merasakan udara dingin yang menusuk hingga ke tulang. Aku menggigil, meskipun berusaha keras agar tidak tampak lemah. Tapi, ketakutan yang menyelimutiku bukan hanya tentang malam yang gelap dan dingin; ada ketakutan yang lebih dalam, sesuatu yang tak terlihat tapi selalu hadir, diwariskan dari cerita-cerita masa lalu. Kisah-kisah tentang mereka yang datang dalam sunyi dan mengambil nyawa tanpa suara.
Pa’e terus berjalan dengan langkah mantap, tangannya menggenggam obor yang memancarkan cahaya redup di tengah malam yang seolah tak berujung. Langkahku mengikuti di belakangnya, meski di dalam hati aku merasa tersesat, terperangkap dalam bayangan dari cerita-cerita kelam yang sering kuceritakan pada diriku sendiri. Aku menggenggam lengan Pa’e lebih erat, berharap ketenangan datang dari sosoknya yang selalu terlihat kuat dan tak tergoyahkan.
“Pa’e, kenapa kita harus keluar malam-malam begini?” Suaraku bergetar, nyaris tak terdengar di tengah hembusan angin. Aku bertanya bukan hanya karena takut akan malam; ada ketakutan lebih besar yang telah mengakar sejak kecil—ketakutan akan kehilangan, ketakutan akan nasib yang tak pernah berpihak pada mereka yang lemah.
Pa’e menoleh sedikit, senyum kecil menghiasi wajahnya yang sudah berkerut. Tapi aku tahu di balik tatapannya ada sesuatu yang tak ia ungkapkan. “Kadang, Nduk, kita harus berjalan di tengah gelap untuk bisa menemukan terang,” katanya dengan suara lembut. Tapi aku tahu, kata-katanya menyimpan makna yang lebih besar dari sekadar apa yang ia ucapkan.
Aku menatapnya, berusaha memahami apa yang dia maksud. “Terang di mana, Pa’e? Apa kita akan sampai ke sana?”
Dia tidak langsung menjawab. Langkahnya masih mantap, membawa kami melewati pepohonan yang tinggi, dengan ranting-ranting kurus yang menjulur seperti tangan-tangan yang ingin menangkap kami. Angin malam berdesir, membawa suara-suara yang aneh, membuatku semakin takut.
“Pa’e, di sini ada yang jahat, ya?” tanyaku lagi, kali ini lebih pelan. Hatiku berdebar keras, teringat cerita Mail Tonggos tentang hutan ini, tentang orang-orang yang hilang dan tidak pernah kembali.
Pa’e tertawa kecil, meski suaranya tidak benar-benar bisa menenangkanku. “Nduk, bukan soal ada yang jahat atau nggak. Yang penting, kita tahu cara melangkah di kegelapan,” ucapnya. Dia berhenti sejenak dan menatapku. “Seperti huruf alif, Nduk, yang berdiri tegak. Meski sendirian, dia tetap kuat. Kita harus bisa berdiri sendiri, bahkan ketika jalannya tidak terlihat.”