Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #2

Prolog: Genjer-genjer



November 1965

MALAM itu, aku melangkah ke pemakamanku di bawah langit yang kelam, sementara angin hutan membisikkan rahasia yang hanya bisa dipahami oleh malam. Langit dan bumi tampak menyatu dalam simfoni misteri, mengikuti jejak langkahku di batas takdir yang tidak tampak jelas. Ketakutan mengurung kami bertahun-tahun, ancaman gerombolan Darul Islam selalu hadir di setiap bayang-bayang malam. Meski Kartosoewirjo sudah tertangkap, ancaman malam tetap menggantung seperti napas yang tak bisa dihindari. Ketika Pa’e menarikku keluar dari rumah yang selama ini kami anggap sebagai benteng, aku merasa seperti melangkah ke jurang yang tak dikenal.

“Kenapa kita keluar malam?” tanyaku, suara ku tertutup oleh bisikan angin malam.

Pa’e menatapku lembut, seolah matanya menyimpan beban dunia. “Ma’e, ibumu, selalu percaya bahwa setiap orang memiliki perannya. Ia ingin kita memahami bahwa hidup ini lebih dari sekadar bertahan. Menjadi berguna bagi orang lain adalah sebuah panggilan.”

“Jadi, apa yang harus kulakukan?” tanyaku dengan rasa ingin tahu, menggenggam tangan Pa’e lebih erat.

“Ma’e mengajarkan kita bahwa perjuangan tidak selalu harus dilakukan dengan senjata,” jawab Pa’e. “Kadang, menjadi berguna berarti menemukan cara kita sendiri untuk berkontribusi. Setiap tindakan kecil yang memberi manfaat adalah bagian dari perjuangan kita.”

“Baik, Pa’e. Aku mengerti,” jawabku penuh tekad.

Lihat selengkapnya