Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #3

1.Ta, Nama Dua Kata

Mei 1998

 

DI TENGAH suasana kerumunan mahasiswa yang memanas, ruangan kemahasiswaan bergelora seperti medan perang. Lampu neon berkedip-kedip, memantulkan cahaya merah kekuningan di dinding-dinding yang penuh poster anti-rezim. Aroma kopi murah bercampur dengan keringat dan semangat yang membara, menciptakan atmosfer yang mencekam namun penuh energi. Ruangan ini adalah arena bagi kami yang mencoba melawan sistem dinasti yang mengaburkan keadilan—sebuah permainan kekuasaan yang dimainkan oleh para elit yang tidak pernah merasakan penderitaan rakyat.

Terdengar suara mahasiswa bergabung dalam satu sorakan. “Kita harus bertindak sekarang!” teriak seorang mahasiswa, suaranya penuh semangat. “Orde Baru telah menindas rakyat! Kita tidak bisa hanya berdiri di sini!”

“Benar!” sahut yang lain dengan emosinya bergetar. “Rakyat sudah terlalu lama menderita! Saatnya kita menggulingkan rezim kejam ini!”

Aku berdiri di sisi podium, merasakan gelombang semangat yang mengalir dalam diriku. Dengan tekad, aku mengangkat tangan dan berbicara. “Teman-teman, kita berkumpul bukan hanya untuk berdebat, tapi untuk bertindak! Pemerintahan Orde Baru telah membuat rakyat kita menderita. Banyak yang hilang tanpa jejak, dan kita di sini harus menjadi suara mereka!”

Gema persetujuan menggema, suasana semakin membara. “Mahasiswa adalah cahaya di tengah kegelapan! Penjajahan tidak hanya tentang kekuasaan asing, tetapi juga penindasan yang kita rasakan setiap hari. Apakah kita akan terus diam?”

Sorak-sorai memenuhi ruangan, semangat kami meluap. “Kita harus berjuang! Ini bukan hanya tentang kita, tetapi tentang rakyat yang butuh pembela!”

Saat rapat mencapai puncaknya, aku memeriksa jam tangan. Magrib sudah dekat, dan aku harus pulang untuk ritual makan malam keluarga yang penting. Aku berdiri, mendekati Asti di sudut ruangan.

“Ti, aku harus pulang. Magrib sudah dekat!”

Asti menatapku dengan raut kecewa. “Aduh, Ta! Rapat belum selesai. Kita butuh kamu di sini!”

Aku menggeleng. “Gak bisa! Kalau aku enggak balik sekarang, jangan harap aku bisa hadir lagi. Ibu sudah bilang, asal magrib aku harus di rumah.”

Asti menggigit bibirnya, lalu melirik ke arah seorang pemuda di kejauhan yang tampak memperhatikan kami. “Eh, Ta! Cowok itu dari tadi nanyain nama kamu terus. Naksir kali!”

Lihat selengkapnya