Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #3

1.Ta, Nama Dua Kata

Kita tak bisa menghentikan angin badai tapi kita selalu bisa menyesuaikan layar perahu agar tetap melaju.

 

 

MEI 1998

KERUMUNAN di dalam ruangan semakin panas. Suara mahasiswa yang berteriak, menyerukan reformasi, membelah udara yang pengap dan sarat keringat. Lampu neon berkedip-kedip, memantulkan cahaya ke dinding-dinding yang penuh poster anti-rezim, menambah ketegangan di antara kami. Bau kopi murahan bercampur dengan keringat membuat suasana semakin sesak. Di sudut ruangan, aku berdiri, mata ini menatap tajam, penuh tekad yang terbakar dalam dada. Meski wajahku terlihat tegas, di dalam hatiku, ada pergulatan yang tak pernah kunjung usai.

Aku, Ta, berdiri di sini bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi untuk semua yang pernah kehilangan sesuatu dalam diam. Rambut hitamku yang kuikat sederhana terjatuh di bahu, tapi aku terlalu fokus untuk memperhatikannya. Aku tak pernah peduli pada penampilan. Jeans belel dan kaus putih yang kupakai sudah cukup untuk membuatku merasa bebas. Apa yang kupikirkan adalah bagaimana aku bisa menjadi suara mereka—orang-orang kecil yang dilupakan oleh kekuasaan.

Aku mengangkat tangan, memanggil perhatian semua yang hadir. Suara riuh itu tiba-tiba terhenti. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum mulai berbicara.

“Kita di sini bukan cuma buat ngomong, tapi buat bertindak!” seruku, suaraku terdengar tegas, meski lembut. “Ad maiora natus sum! Kita dilahirkan untuk hal-hal besar! Orde Baru telah menginjak-injak kita. Sudah waktunya kita bangkit dan bersuara!“

Teriakan setuju meledak dari kerumunan, menggema di seluruh ruangan. Satu demi satu mahasiswa bertepuk tangan, berteriak mendukung. Di tengah riuhnya semangat, aku merasakan sesuatu yang lebih besar sedang mendidih dalam diriku—sesuatu yang mengingatkan pada masa lalu, pada sejarah yang menindas keluargaku, pada kematian Ayah Ma’il yang tak pernah sempat kubalas. Air mata hampir menetes, tapi aku tahu, aku tak boleh menunjukkan kelemahan di sini.

Aku melirik jam tangan tipis yang melingkari pergelangan tanganku. Magrib sebentar lagi. Tanggung jawabku di rumah tak bisa kutinggalkan begitu saja.

“Aku harus pergi,“ gumamku pelan, hampir pada diriku sendiri, sebelum berbalik menuju pintu.

Asti, sahabatku, yang berdiri di dekatku, langsung mendekat dan menahan lenganku. “Ta, tunggu! Rapat ini penting. Kami butuh kamu di sini.”

Aku terdiam sejenak. Dalam benakku, terbersit antara memilih tanggung jawab di rumah atau bertahan di sini, memperjuangkan yang selama ini kuinginkan. Namun, aku tahu betul apa yang akan terjadi jika aku terlambat pulang. Ibuku, yang selama ini menjadi pondasi di hidupku, tak akan membiarkan aku keluar lagi kalau aku terus melanggar batas waktu.

“Aku harus pulang, Asti. Ibu enggak bakal kasih aku keluar lagi kalau aku enggak balik sekarang,” jawabku pelan, mencoba menjelaskan.

Lihat selengkapnya