Kita tak bisa memilih dari mana luka itu datang, tapi kita bisa memilih bagaimana cara kita sembuh.
SEBELUM tahun ini datang, aku sering bertanya-tanya seperti apa rasanya luka akibat kehilangan. Selama sembilan belas tahun hidup, kehilangan yang kutahu hanya sebatas hal-hal sepele—kunci motor yang hilang, remote TV yang entah di mana, atau kaus kaki yang hanya tersisa sebelah. Tapi ketika aku menginjak usia dua puluh satu, segalanya berubah. Aku akhirnya merasakan kehilangan yang lebih mendalam. Luka yang menancap, seakan tak akan pernah sembuh. Atau mungkin, aku sengaja membiarkannya terbuka, agar aku tak pernah lupa pada orang yang ingin selalu kukenang. Setiap orang memang berbeda dalam menyikapi luka, dan aku? Aku memilih untuk menyimpannya.
Keluarga kami punya satu tradisi yang selalu dijalankan tanpa absen: berkumpul di meja makan setiap selesai Isya. Ritual ini diwajibkan oleh Ayah Ma’il, bahkan sejak aku kecil. Mau sesibuk apa pun, kami semua harus duduk bersama. Dan meskipun sekarang Ayah Ma'il sudah tiada, tradisi itu tetap berjalan, seperti warisan yang tidak pernah dihapuskan. Meja makan tetap penuh, walau terasa lebih kosong di hati.
Ibu datang dengan membawa semangkuk oseng genjer cabai hijau, menaruhnya di meja. Dulu, aroma itu selalu membuatku lapar. Tapi sekarang, bau pedas yang menyengat itu hanya membuatku semakin sadar akan kesunyian yang menyelimuti ruangan. Setiap suapan mengingatkanku pada sosok Ayah Ma'il, pada tawa dan kehangatan yang kini sudah pergi.
Aku duduk, menatap kursi di ujung meja yang dulu ditempati Ayah Ma'il. Kini hanya ada kursi kosong, menghadap piring yang Ibu selalu letakkan di tempat itu—seakan-akan masih menunggu seseorang untuk kembali duduk di sana. Tapi aku tahu, tak ada yang akan datang lagi.
“Ibu, kenapa kita selalu makan malam tepat setelah Maghrib? Kenapa aku enggak boleh pulang lewat dari Isya?” tanyaku, mencoba membuka percakapan yang selalu membuatku penasaran.
Wajah Ibu sedikit menegang, tetapi tetap tenang. “Sudah pernah Ibu bilang, Ta. Pulang larut itu tidak baik untuk perempuan,” jawabnya, dengan nada yang selalu sama seperti sebelumnya.
Aku mendesah, merasa jenuh dengan jawaban itu. “Tadi aku ngobrol sama temanku dari Ciamis, Bu. Aku masih penasaran, kenapa aku enggak boleh pergi ke sana? Padahal Banyuwangi tempat Ibu dan Ayah Ma'il jauh lebih jauh dari Ciamis.”
Tatapan Ibu langsung berubah, wajahnya sedikit mengeras. Ia meletakkan sendok dengan suara yang lebih keras dari biasanya di atas piring. “Sudah, makan saja. Tidak ada yang penting di Ciamis,” jawabnya, nadanya semakin tajam.
Aku terdiam, merasa ada sesuatu yang selalu disembunyikan oleh Ibu. Ada sesuatu di balik jawaban itu yang selalu mengganjal, tetapi aku tahu, jika terus mendesaknya, percakapan ini hanya akan berakhir dengan perdebatan. Aku menunduk, memandang piring oseng genjer di depanku. Setiap suapan membawa ingatan tentang Ayah Ma'il—tentang nasihatnya, tentang caranya menenangkan kami dengan kebijaksanaannya.