Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #4

2.Ruang Makan dan Perdebatan

SEBELUM tahun ini datang, aku selalu bertanya-tanya seperti apa bentuk luka dari kehilangan. Selama dua puluh tahun hidup, yang aku ketahui tentang kehilangan hanya sebatas kunci motor yang hilang, remote TV yang entah kemana, atau kaos kaki yang hanya tersisa sebelah. Mungkin aku tidak benar-benar memahami rasanya kehilangan, dan mungkin aku juga belum siap untuk memahaminya.

Namun, ketika aku menginjak usia dua puluh satu, aku akhirnya merasakan luka yang mendalam dan seakan tidak pernah sembuh. Atau mungkin, aku sengaja membiarkannya terbuka sebagai pengingat agar aku tidak mudah lupa pada orang yang ingin ku kenang. Entahlah, cara manusia memproses luka memang berbeda-beda. Namun, satu hal yang pasti: manusia tidak akan pernah benar-benar siap menghadapi kehilangan.

Ibu membawa semangkuk oseng genjer cabai hijau ke meja. Aromanya, yang dulu menggugah selera, kini terasa menjemukan. Bau pedasnya menyebar ke seluruh ruangan, bercampur dengan kesunyian yang menekan. Setiap suapan genjer menghidupkan kembali kenangan-kenangan manis yang mengiris hati.

Ketika Ibu duduk, ekspresinya datar, hampir tidak menunjukkan perasaan. Tatapannya intens membuatku merasa tak nyaman. Aku mulai makan, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang mengendap di hati. Setiap suapan mengingatkanku pada tawa Ayah yang kini hanya bisa kuhadapi dalam ingatan.

“Bu, bolehkah aku tahu kenapa aku tidak boleh pergi ke Ciamis?” tanyaku, berusaha membuka percakapan.

Wajah Ibu berubah ketus. “Sudah berapa kali dijelaskan—”

Aku langsung memotong, sudah hapal betul jawabannya. “Ciamis itu jauh dari sini. Perjalanannya bikin capek.”

“Nah, kamu tahu!”

“Tapi ada temanku dari Ciamis, Bu,” aku menjeda. “Lagipula, Banyuwangi lebih jauh dari Ciamis. Ibu bisa lihat peta. Ciamis itu di Jawa Barat.”

Tarikan napas Ibu terdengar kasar. “Sudah, waktunya makan. Lagi pula, tidak ada apa-apa di Ciamis. Destinasi wisatanya juga tidak banyak,” ujar Ibu sambil menggeser mangkuk oseng genjer ke depanku.

Aku mengakhiri perdebatan tentang Ciamis. Pikirku, untuk apa aku pergi ke sana? Sekarang, aku hanya fokus pada kegiatan orasi besok.

Ruangan makan terasa semakin sempit tanpa kehadiran Ayah. Meja kayu yang dulu penuh tawa kini hanya menyisakan kesunyian. Dinding-dinding yang seharusnya penuh keceriaan kini dipenuhi foto-foto keluarga dengan senyum cerah Ayah, seakan mengingatkan betapa besar kehilangan ini. Kursi di sisi meja yang biasanya ditempati Ayah kosong, menunggu, atau mungkin hanya menunggu ilusi.

“Bu, kenapa piringnya masih ada di sini?” tanyaku sambil mengunyah nasi bercampur oseng genjer.

Ibu melirik piring kosong di meja. Napasnya berat, seolah memikul beban emosional. “Biarkan saja. Biar meja ini tidak terlalu kosong.”

Hati ini merasa teriris. “Kupikir Ibu kangen Ayah.”

Lihat selengkapnya