Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #5

3.Jejak Alif di Pagi Kegelapan

TERLIHAT tangan  menuliskan pesan dengan gemetar di atas selembar kertas, tinta yang memantulkan kilauan samar. Kalimatnya berbunyi, "Ba, aku merindukanmu," diakhiri dengan huruf hijaiyah Alif yang elegan. Tiba-tiba, darah memuncrat di kertas tersebut. Suasana berubah gelap, seolah ada kekuatan menarikku ke dalam kegelapan. Aku terbangun terengah-engah, keringat dingin membasahi tengkuk dan pelipis.

Pukul sembilan pagi, melihat jarum jam membuatku melompat dari tempat tidur. Sambil mengumpulkan nyawa yang tercecer, aku meraih radio tua di samping bantal, menyalakan berita pagi yang terlambat sambil bertanya-tanya kenapa Ibu tidak membangunkanku.

Suara radio yang samar kemudian semakin jelas.

“Selamat pagi, pendengar setia. Ini Radio Nasional, melaporkan berita terbaru. Hari ini, 10 Mei 1998, krisis ekonomi semakin menghantam berbagai sektor di Indonesia. Harga barang pokok melonjak drastis, dan ribuan perusahaan terpaksa gulung tikar. Pemutusan hubungan kerja terus meningkat, menyebabkan jutaan orang kehilangan mata pencaharian.”

Hatiku berdebar. Aku terlambat untuk aksi! Dengan langkah tergesa, aku menuju kamar mandi, menyiram wajahku dengan air dingin, dan menggosok gigi secepat mungkin. Hari ini terasa seperti roller coaster—penuh ketegangan dan urgensi.

Saat hendak keluar, dering telepon membuatku berhenti. Rasa ingin mengangkat telepon itu bersaing dengan kepanikan untuk segera bersiap. Deringnya semakin nyaring, menggema di dalam rumah yang sepi.

“Ibu! Ibu!”

Aku melangkah keluar kamar, memanggil Ibu, tapi tidak ada jawaban. Dengan langkah cepat, aku menuju telepon bergagang besar yang berada di ruang tamu. Aku mengangkatnya, dan suara Asti terdengar di ujung sana, kesal dan terburu-buru.

“Ta, kamu di mana? Sudah jam segini, rapat koordinasi untuk demo nanti siang sudah dimulai!”

Terdengar suara orang berbicara dengan riuh di latar belakang. Mereka pasti sedang mempersiapkan strategi untuk aksi nanti.

“Ti, kamu sendiri di mana sekarang?”

“Kami lagi di aula fakultas! Semuanya sudah berkumpul. Ayo, cepat ke sini! Kamu harus ikut rapat terakhir sebelum kita turun ke jalan.”

“Maaf banget, aku baru bangun! Aku segera menyusul.”

Sebelum Asti bisa menjawab, suara lain terdengar—lebih tenang, namun tegas dan penuh wibawa. Suara yang tidak asing, karena aku baru bertemu pemiliknya kemarin sore. Dia adalah Arlan, lelaki yang menemuiku petang kemarin.

“Selamat pagi, Ta. Ini Arlan. Ingat aku? Kita bertemu kemarin sore.”

Lihat selengkapnya