Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #6

4.Monster Menciptakan Monster

HARI itu matahari mulai tenggelam, meninggalkan jejak merah jingga di langit. Alif berjalan pelan menyusuri jalan desa yang yang dipagari kebun dan lapangan gembala. Di kejauhan, beberapa ekor sapi dan kambing berlarian, terdengar melenguh samar.

Jalan setapak berdebu itu biasanya sepi di sore hari, namun ada ketegangan di udara yang tak bisa dijelaskan. Alif sedang dalam perjalan menuju masjid, hendak mengajar anak-anak mengaji seperti biasa. Di pundaknya kitab suci terselip rapi di bawah sorban putih yang mengilap, sementara sarungnya berkibar pelan mengikuti angin lembut petang.

Langkahnya mantap, tapi pikirannya berat. Sejak kecil, Alif terbiasa melihat ketidakadilan di desanya. Dia tahu rasanya diperlakukan berbeda, diolok-olok, dan dijadikan bahan tertawaan. Anak pengecut tukang sembunyi balik kolor kuwu—sebutan kepala desa—bapaknya Alif— sering menjadi olokkan teman-teman kepadanya. Tiap kali ia melangkah di jalan desa, suara tawa mengejek anak kuwu menggema di telinganya. Mereka mengatai Alif anak miskin yang tak akan jadi apa-apa. Meski begitu, Alif selalu berusaha sabar, karena sejak kecil, ia didik bahwa membalas dendam hanya akan menyakiti diri sendiri.

Namun, sore itu, hatinya tergerak lagi. Kali ini bukan karena dirinya, tapi karena seorang bocah malang bernama Budi. Anak itu, sejak ayahnya dituduh simpatisan PKI dan dieksekusi tanpa peradilan, tak pernah bisa hidup tenang di desanya sendiri.

Desa kecil itu penuh bisik-bisik dan tatapan mencela setiap kali Budi melintas. Anak-anak sebaya Budi menghindar, dan orang dewasa hanya memandangnya dengan mata penuh curiga.

Alif sering melihat bocah itu termenung di sudut lapangan, memandangi sapi-sapi yang lewat, seolah-olah mencari sesuatu yang telah hilang dari hidupnya. Tiba-tiba, dari arah lapangan, terdengar suara gaduh.

Alif menghentikan langkahnya, matanya menyipit mencoba menangkap apa yang terjdi di depan sana. Di bawah pohon pisang yang rimbun, bocah-bocah bergerombol, tertawa keras, sementara di tengah mereka, seorang anak berdiri terpaku dengan wajah penuh amarah. Bocah itu adalah Budi yang sedang memegang batu nisan, wajahnya pucat dan penuh kotoran.

Suara lengguhan sapi terdengar lebih kerasa, diikuti suara PLAK, sepotong tai sapi melayang mengenai wajah Budi. Alif merasa darahnya berdesir. Ia mengenali tanda-tanda kekerasan dari kejauhan. Sambil melangkah lebih cepat, ia mendengar suara Amir, bocah yang sering memimpin kelompok itu. “Anak PKI! Anakmu saja tidak sudi tidak punya anak seperti kau!” teriaknya.

Budi, meski tubuhnya kecil, maju tanpa gentar. Tangannya mencerminkan tekad yang tak terbendung. “Bapak urang titip salam ka maraneh!”[1} seru Budi dengan suara serak.

Amarah yang terbendung memancar dari setiap gerak tubuhnya. Dia melemparkan batu nisan itu dengan keras ke arah Amir. Batu itu mengenai dahi Amir dengan bunyi gedebug yang menakutkan.

Kerumunan bocah itu terpecah, lari tercerai berai seperti ayam ketakutan. Amir terhuyung ke belakang, darah merembes dari dahinya, tetapi tatapan kebencian masih mengarah pada Budi. Anak itu pun lari mengikuti teman-temannya. Alif tiba tepat ketika salah seorang bocah lainnya berteriak, “Budi, maneh sinting!”[2]

Alif segera berlari menuju pusat keributan, mendapati Budi yang berdiri sendiri di tengah lapangan dengan batu nisan di tangannya. Bau menyengat dari tai sapi yang mengotori bajunya tercium tajam di udara, tercampur dengan aroma rumput basah dan tanah liat yang hangat oleh matahari sore.

Lihat selengkapnya