Terkadang, di tengah badai yang
menghantam, diam dan bertahan adalah
bentuk keberanian yang paling besar—
karena dalam keheningan, kita belajar
menerima dan memperbaiki tanpa
kehilangan arah.
APRIL 1977
KETIDAKPASTIAN sering kali tersembunyi dalam keheningan. Ada perasaan yang hanya bisa dipahami oleh hati yang terus bergolak, tersimpan dalam kegelapan pikiran, diterima dalam diam. Seperti yang dialami Alif malam itu, di dalam kamar yang hanya diterangi lampu minyak yang berkerlip lemah. Cahaya samar seolah ikut merasakan kegundahannya. Alif duduk di kursi kayu tua, matanya menerawang kosong ke arah kertas di depannya. Pena di tangannya menggurat tanpa tujuan yang jelas. Di luar jendela, angin malam berembus, membawa masuk aroma daun cengkeh dan asap bako yang memenuhi ruangan—aroma yang akrab dan mengingatkan pada Haji Engkus, ayahnya.
Di benaknya, sosok perempuan dengan rambut panjang terurai terus berputar-putar, seperti bayangan yang selalu hadir dalam mimpinya. Namun, setiap kali Alif mencoba menggambarnya di atas kertas, bayangan itu menghilang. Sesuatu yang seharusnya menghibur justru terasa semakin jauh, semakin sulit diraih. Guratannya tak pernah selesai, seperti kerinduannya yang tak kunjung terjawab—Kau Sebelum Aku.