Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #7

5.Kau Sebelum Aku

KETIDAKPASTIAN sering kali tersembunyi dalam keheningan. Beberapa perasaan hanya bisa dipahami oleh hati yang bergolak sendiri, tersimpan dalam kegelapan pikiran, dan diterima dalam diam. Rahasia menjadi pelindung saat perasaan tidak mampu diungkapkan—seperti yang dialami Alif malam itu.

Dalam cahaya redup lampu minyak, Alif merenung dengan pena di tangan, mencoba menangkap esensi dari helaian rambut yang menggantung di benaknya, mengalir dalam garis-garis tipis di atas kertas. Angin malam berhembus lembut, menari dengan daun cengkeh di luar jendela, menyuarakan lagu kesunyian yang menyelimuti kamar. Goresan pena di kertas menyatu dengan desiran angin dan nyanyian serangga nokturnal, menciptakan suasana intim yang hanya bisa dipahami oleh Alif. Gambar yang dia buat lambat laun membentuk wajah perempuan yang kerap muncul dalam mimpinya. Setiap goresan mengungkapkan keputusasaan dan rasa yang tak terkatakan, seolah gambar itu adalah satu-satunya cara Alif untuk mencurahkan isi hatinya.

Namun, saat Alif tenggelam dalam upaya untuk mengungkapkan mimpi yang terus menghantui—mimpi tentang seorang perempuan dengan rambut terurai yang mengundang rasa hangat di hati—keheningan malam pecah. Pena yang dipegangnya terangkat dengan terburu-buru, tatapan matanya tajam mencoba mengingat detail mimpi itu, yang kini kembali menghantui pikirannya. Sosok perempuan itu, dengan rambut melambai dalam angin, selalu menghilang setiap kali Alif mencoba menggenggamnya dengan kata-kata. Jawabannya, “Kau sebelum aku,” terdengar samar namun penuh makna, meninggalkan rasa ingin tahu yang membakar.


Ketika Alif berusaha menuangkan keindahan dan ketidakpastian mimpi itu ke dalam gambar, tiba-tiba sebuah tangan merampas kertasnya. Alif terkejut, menoleh, dan melihat Haji Engkus berdiri di ambang jendela, wajahnya memerah karena kemarahan. Haji Engkus, dengan tubuh yang semakin tua namun masih mengeluarkan aura kekuatan sebagai Kuwu desa, menatap Alif dengan tatapan penuh tekanan.

“Sudah Abah bilang jangan melukis!” teriak Haji Engkus dengan suara yang menggema, saat dia membuang gambar itu ke luar jendela, menggantikan hening dengan keributan. Setiap detak jantung Alif terasa berat, tercekik oleh ketidakpastian dan kesedihan.

Haji Engkus, dengan sikap yang tidak pernah gentar, menyatakan, “Menggambar manusia atau binatang adalah haram! Hentikan semua itu sebelum ilmu kamu penuh!” Suara bentakan Haji Engkus seolah menggedor dinding-dinding kamarnya, mengisi ruangan dengan ketegangan dan kesedihan yang tidak terucapkan. Alif merasa terjepit, tetapi hanya bisa diam, dikhianati oleh keyakinan dan rasa yang tidak terkatakan.

Haji Engkus melanjutkan dengan nada tegas, “Rasulullah melarang pembuatan gambar dan patung karena dapat menyebabkan penyekutuan kepada Allah.” Haji Engkus, yang merasa benar karena statusnya sebagai Kuwu dan pengalaman panjangnya, percaya bahwa keputusannya adalah yang paling benar. Alif tahu bahwa argumennya tidak akan pernah menang melawan kekuasaan otoritas Haji Engkus, meski hatinya terasa terbelah.

“Dan, mulai sekarang, jangan lagi kamu berurusan dengan Budi, anak almarhum Saman!” lanjut Haji Engkus membuat Alif semakin tersentak. Alif sadar sepertinya Emak Amir sudah menceritakan yang terjadi pada petang itu pada Haji Engkus.

“Memang kenapa, Bah?” tanya Alif, berusaha mencari pemahaman.

“Anak-anak PKI ditakutkan akan melanjutkan dosa orangtuanya. Dan, Abah takut kamu terpengaruh!” jawab Haji Engkus dengan ketegasan yang tak tergoyahkan, menegaskan keyakinannya sebagai Kuwu yang menganggap dirinya sebagai pelindung desa.

Lihat selengkapnya