Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #11

9.Langkah dalam Bayangan

HARI itu, seperti hari-hari lainnya, Alif memanggul dua keranjang dengan tongkat bambu. Satu keranjang berisi nasi timbel dan goreng ikan asin buatan Siti. Dengan langkah hati-hati, dia menuruni jalan terjal menuju jalan besar. Kucingnya, Memeng, mengikuti dengan setia. Namun, pikiran Alif tidak lagi pada kebun rempah Haji Engkus, melainkan pada jalan yang mengantarkannya beberapa hari lalu kepada Ba.

Alif merasa bodoh, berjalan memutar demi mencari wajah gadis bisu itu. Setiap kali ia hampir berbalik menuju kebun rempah, hatinya mencegah. Pikiran tentang Ba—bayangan rambutnya yang tertiup angin malam—tak kunjung hilang. Kenapa hanya gadis ini yang menghantui pikirannya? Apakah dia terkena guna-guna? Bayangan Ba begitu jelas, seolah menari dalam mimpi-mimpinya.

Ada sesuatu yang mengikatnya pada gadis itu, rasa yang lebih dalam dari sekadar ketertarikan. Mungkin, perasaan ini adalah hasil dari perjalanan batinnya, yang tidak hanya ditentukan oleh kehadiran Ba dalam mimpi, tetapi oleh keterhubungan yang lebih dalam yang belum sepenuhnya ia mengerti.

Saat melewati desa, Alif merasakan tatapan hangat dari warga. Bapak-bapak siap bertani, ibu-ibu menyiangi tanaman, semua menyapa dengan ramah. Alif, dengan senyum dan tatapan lembut, tak luput menarik perhatian para gadis desa. Senyum mereka penuh hormat, dan tatapan mereka selalu penuh kekaguman saat melihat Alif. Ada rasa bangga dalam dirinya, karena ia merasa dikenal dan dihargai sebagai anak Kuwu.

Bade kamana, Ang?”[1] tanya seorang warga yang menyapu depan rumahnya.

Ka payun. Mangga,”[2] jawab Alif sambil tersenyum dan mengangguk sopan.

Lihat selengkapnya