Rasa takut pada diri sendiri adalah musuh terbesar, tapi menghadapinya adalah
langkah pertama menuju kebebasan sejati.
HARI itu, seperti biasa, Alif memanggul dua keranjang dengan tongkat bambu di bahunya. Di dalam keranjang, tersimpan nasi timbel dan ikan asin buatan Siti. Langkahnya hati-hati menuruni jalan terjal menuju jalan besar, ditemani Memeng, kucing setianya. Namun, pikirannya tak lagi tertuju pada kebun rempah milik Haji Engkus. Bayangan Ba terus-menerus mengisi benaknya.
Setiap kali kakinya hampir mengarah kembali ke kebun, hati Alif mencegahnya. Ia merasa bodoh, tapi tetap saja ia mengambil jalan memutar, berharap bisa bertemu dengan gadis bisu itu. Rambut Ba yang tertiup angin malam masih membekas di ingatannya, tak bisa hilang meski ia berusaha. Apa ini guna-guna? Mengapa hanya gadis ini yang begitu menghantui pikirannya?
Ketika melewati desa, warga menyapanya dengan ramah. Senyuman mereka seakan menegaskan bahwa Alif dihormati, baik sebagai anak Kuwu maupun sebagai guru mengaji. Meski begitu, ia merasa ragu. Apakah mereka benar-benar menghargainya, ataukah semua ini karena status ayahnya?
“Bade kamana, Ang?[1]” seorang warga bertanya, menyapu halaman rumah.