Terkadang meski semua upaya kita untuk membahagiakan orang
Lain tak berbuah hasil, ketenangan sejati
datang saat kita menerima bahwa
Kebahagiaan mereka bukan sepenuhnya
Kendali kita.
SELESAI memanen jahe di kebun kaki Gunung Syawal, Alif merasakan lelah yang tak hanya menimpa fisik, tapi juga jiwanya. Keranjang di pundaknya penuh dengan lima kilo jahe, menambah beban yang terasa berat. Namun, bukan hanya berat tubuhnya yang terasa, pikirannya pun penuh dengan bayangan Ba. Wajah gadis bisu itu terus menghantui benaknya sejak pertama kali bertemu. Meskipun Ratna lebih cantik, Ba memiliki daya tarik misterius yang tak bisa diabaikan.
Saat melewati jalan setapak yang membawanya pulang, Alif sengaja memutar melewati rumah Sarti, berharap bisa melihat sekilas sosok Ba. Tapi seperti sebelumnya, kehadirannya tak membuahkan hasil. Ba seolah lenyap begitu saja.
Memeng dan Mumun, kedua kucingnya, setia mengikuti di belakang, tak sadar betapa jauh Alif berjalan tanpa tujuan. Jalanan desa yang sepi menambah keheningan, hanya sesekali diselingi suara warga yang menyapanya. Alif mengangguk sopan, tapi pikirannya tak lepas dari Ba dan rasa penasaran yang membara.
Ketika memasuki halaman rumahnya, Alif melihat Haji Engkus dan Mang Ohim duduk di tepas, bagian depan rumah, mengepulkan asap bako dari lintingan mereka. Wajah Mang Ohim tampak serius, dan dari kejauhan Alif bisa mendengar percakapan mereka yang mulai hangat.
“Mungkin kita perlu mengadakan lagi tradisi Kuda Kosong,” ujar Mang Ohim dengan nada berat, mengisyaratkan betapa seriusnya masalah ini.
Alif menahan langkahnya. Kuda Kosong. Tradisi kuno yang dipercaya warga desa dapat menenangkan roh-roh yang marah. Alif pernah mendengar cerita ini sejak kecil, tentang suara gemerincing kuda tanpa penunggang yang datang sebagai tanda peringatan. Tapi bagi Haji Engkus, tradisi seperti itu adalah musyrik dan tidak boleh dipercaya.