Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #12

10.Kuda Kosong

SELESAI memanen jahe di kebun kaki Gunung Syawal, Alif merasa lelah yang tak terungkapkan kata-kata. Keranjang di pundaknya penuh dengan lima kilo jahe yang dikumpulkan dengan susah payah, menambah beban fisik yang sudah menekan. Namun, bukan hanya fisik yang tertindih, pikirannya tertekan oleh bayangan Ba, gadis yang telah memikat hatinya dengan kehadiran yang tak bisa ia lupakan. Meskipun Ratna lebih cantik, Ba memiliki daya tarik misterius yang membuatnya terus terbayang hari pertama mereka bertemu.

Di sampingnya, Memeng melangkah dengan tenang, ditemani Mumun, kucing liar betina yang baru diselamatkannya. Alif merasakan kehangatan dari bulu lembut Mumun saat membelainya, dan ia mengusir rasa lelah dengan senyuman lembut kepada kedua kucingnya. Jalan pulang terasa lebih lama karena Alif sengaja memutar melewati rumah Sarti. Kedatangan ke rumah Sarti kali ini kembali sia-sia. Entah kenapa, hari-harinya terasa hilang tanpa sosok Ba.

Saat memasuki halaman rumahnya, Alif melihat Mang Ohim dan Haji Engkus duduk bersantai di tepas, bagian depan rumah, mengepulkan asap bakau dari lintingan yang mereka hisap. Alif meletakkan keranjang-keranjangnya dan menyapa kucing-kucing yang memanjat kakinya, seolah menyambutnya pulang setelah seharian bekerja keras. Ia meregangkan bahunya yang pegal, menikmati siraman sinar matahari sore yang perlahan menghilang.

“Mungkin kita perlu mengadakan lagi tradisi kuda kosong,” ujar Mang Ohim dengan nada penuh keseriusan. Asap bako dari lintingannya membentuk lingkaran-lingkaran tipis di udara, menambah kegelapan yang menyelimuti diskusi mereka.

Alif membeku di tempatnya, tangan masih membelai Mumun yang kini nyaman di pangkuannya.

“Sudah berapa orang yang mendengar teror kuda gonjreng?” tanya Haji Engkus dengan nada tenang, seolah menanggapi cerita mistis dengan skeptisisme yang biasa.

“Ini bukan hanya khayalan, Pak Haji. Ada 14 pasang telinga yang mendengar suara mirip ketukan sepatu kuda dan gonjrengan dalam beberapa malam terakhir. Saya sendiri mendengar malam tadi,” kata Mang Ohim, tubuhnya bergetar saat mengingatnya. “Saat saya mengintip lewat lubang bilik… Hiiih, tidak ada apa-apa di sana. Kuda itu benar-benar gaib.”

Alif memperhatikan Haji Engkus yang tetap tenang, melinting bako dengan lambat. Untuk menyembunyikan kehadirannya yang tampaknya menguping, Alif meraih jolang, ember besar, di dekat pohon pisang dan mulai memindahkan jahe- jahe ke dalamnya. Wajah Siti dan Aminah tidak tampak; mereka sedang sibuk dengan jamu.

Tadi, ketika melewati hutan larangan, Alif merasakan sesuatu yang tak kasat mata mengikuti langkahnya. Rasa merinding menjalar di kulitnya, walaupun siang mulai berganti sore. Meskipun ia sering memasuki hutan untuk mencari jahe, kali ini rasanya berbeda. Setiap langkahnya disertai suara lembut dari dedaunan yang bergerak tanpa angin. Mumun dan Memeng tetap setia menuntunnya keluar dari hutan, tetapi kegelapan yang mengintai membuat bulu kuduknya meremang.

Mang Ohim melanjutkan dengan nada sedikit tinggi, “Jangan sampai kita kehilangan nyawa baru mau bertindak. Tradisi Kuda Kosong adalah simbol kepemimpinan, sebuah kewajiban untuk menjaga keseimbangan antara dunia tampak dan dunia tak kasat mata. Rakyat sudah sering menjadi korban; jangan sampai kampung kita terkena kutukan karena Raja Onom murka!”

Lihat selengkapnya