Tetaplah berbuat baik meski niatmu
disalahpahami; kebaikan sejati tak butuh
pengakuan, hanya keteguhan hati.
MATAHARI senja mulai tenggelam, mewarnai desa dengan cahaya keemasan. Alif melangkah cepat menuju masjid Babussalam, tempatnya mengajar anak-anak mengaji. Namun, sore itu, ada sesuatu yang lebih berat dari biasanya yang mengganggu pikirannya. Setelah perdebatan panas dengan Haji Engkus mengenai tradisi kuda kosong dan soal kepercayaannya terhadap mitos desa, Alif dibiarkan sendiri menyelesaikan pekerjaan memanen jahe. Tapi lebih dari itu, pikirannya terus terarah pada Budi, anak yang selalu dijadikan kambing hitam karena sejarah keluarganya, dan Ba, gadis bisu misterius yang tampak seperti bayang-bayang yang sulit ia pahami.
Budi, anak dari seorang simpatisan PKI, selalu menjadi sasaran cemoohan warga desa. Label sebagai "anak PKI" terus melekat pada dirinya, seolah dosa orang tuanya harus ia tanggung. Sementara itu, Ba, gadis yang hanya dikenal sebagai "perempuan gila" oleh warga, diam dalam misteri. Semua orang menganggapnya bisu, tetapi Alif tahu ada sesuatu yang disembunyikan gadis itu—sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar ketidakmampuan bicara.
Langkah Alif terhenti ketika melihat segerombolan anak-anak berlarian dari kejauhan. Di tengah kerumunan, Ujang menangis tersedu-sedu, darah mengalir dari luka di lengannya. Amir, yang selalu jadi biang keributan, berada di barisan depan, dengan wajah marah dan kesal.
“Hei! Kalian mau ke mana?” seru Alif sambil menghentikan mereka. “Bukannya seharusnya kalian ke masjid?”
Amir, dengan wajah tegang, berteriak, “Itu, Ang! Si Budi dan perempuan gila itu ganggu kami! Ujang jatuh karena mereka!”
Alif merasa darahnya mendidih. Nama Budi selalu menjadi alasan untuk setiap masalah di desa ini. "Budi? Apa yang terjadi sebenarnya?"
“Budi dan perempuan itu melempari kami dengan batu, Ang! Ujang sampai jatuh dan terluka!” seru Amir sambil menunjuk luka di tubuh Ujang yang masih menangis.
Alif menghela napas, mencoba menahan amarah. Bukan pada Budi, tapi pada ketidakadilan yang selalu dialami bocah itu. Sejak kecil, Budi terus dijadikan kambing hitam, seolah-olah dosa yang dituduhkan pada ayahnya ikut menodai hidupnya. Namun, bukan itu saja yang membuat Alif terganggu. Ada sesuatu tentang Ba—perempuan misterius itu, yang selalu muncul di waktu yang salah dan dengan cara yang salah.
"Kalian yang mulai duluan?" tanya Alif sambil menatap Amir, berharap jawaban yang jujur.