Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #13

11.Budi dan Perempuan Gila

SETIAP pojok jalan yang dilalui masa kecil pasti menyimpan cerita. Alif masih mengingat bagaimana Haji Engkus setiap petang mengikat tangannya dengan lembut, menariknya menuju masjid untuk mengaji, hanya agar ia tidak tertinggal. Mata kecilnya sering kali masih berat karena Siti, ibunya, selalu memintanya tidur siang selepas dzuhur. Kesibukan Siti, dengan pesanan jamu yang melonjak di musim hujan, memaksa seluruh keluarganya ikut bekerja, tidak terkecuali Alif yang masih belia. Ia cukup piawai dalam mengemas jamu, dan suasana rintik hujan sering kali menjadi waktu yang menyenangkan untuk menikmati kehangatan dalam rumah.

Hari itu, matahari mulai menguning, menyinari langkah Alif yang dipercepat. Setelah perdebatan sengit mengenai tradisi kuda kosong, Haji Engkus memilih untuk tidak menemaninya membersihkan jahe. Alif harus menyelesaikan pekerjaan itu sendiri, dan lehernya mulai kaku karena lama menunduk.

Alif melewati kolam milik Haji Engkus, di mana seorang ibu memandikan anaknya, hampir terjatuh ke dalam air. Alif sigap menolong, tanggap dengan situasi yang kadang terjadi di desa. Ibu tersebut terpaksa memarahi anaknya yang hampir tergelincir, sementara Alif hanya bisa mengangguk sopan, melanjutkan perjalanan menuju masjid Babussalam untuk mengaji.

Belum jauh melangkah, Alif melihat rombongan anak-anak berlarian, salah satunya tampak menangis. “Hei, kalian mau ke mana? Bukannya seharusnya mengaji?” tanya Alif, menghalangi mereka.

Anak-anak itu tampak tegang, wajah mereka membantah cerita di balik tangisan Engkos. “Itu, Ang. Si Budi!” teriak salah satu anak.

Lihat selengkapnya