Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #16

14.Di Balik Bayangan Hutan Larangan

ALIF duduk di meja kerjanya, pena berdecit lembut di atas kertas yang bersih, aroma tinta baru bercampur dengan wangi kopi yang tinggal sisa. Jari-jarinya menari cepat di atas kertas, mencatat obrolan Budi. “Tadi saya dengar gadis itu bernyanyi,” tulisnya sambil mengerutkan dahi. Kata-kata Budi bergema dalam benaknya, sementara kantuk perlahan merayap. Mata Alif terasa berat, ia menguap dan mengangkat tangan, meregangkan tubuh. Pena yang dipegangnya meluncur dari telapak tangan, jatuh ke meja. Alif bersandar, kepala berat membentur buku catatan yang terbuka di depannya. Aroma kertas dan tinta menyelimuti pikiran, dan ia terlelap dalam tidur singkatnya.

Di tengah tidur yang setengah sadar, suara dari luar mulai menembus ketenangan malam. “TOK! TAK! TOK! TAK! KRINCING! KRINCING!” Suara gemerincing logam dan langkah kaki kuda membuat telinganya bergetar. Awalnya, ia pikir itu hanya bagian dari mimpi, namun suara itu semakin jelas, memecah kesunyian malam. Jantung Alif berdegup cepat. Matanya terbuka, “Kuda gonjreng?” gumamnya pelan, terbangun dari tidur singkatnya.

TOK! TAK! TOK! TAK! KRINCING! KRINCING! Suara itu mereda, namun masih terdengar samar. Alif berusaha menenangkan diri, mengenakan celana panjang dan membungkus sarung di bahunya. Ia menyibak tirai kamar dengan hati-hati, matanya meneliti kegelapan ruangan. Ruangan kecil itu, meski gelap, cukup terang untuk melihat seluruh anggota keluarganya tidur lelap. Ia melangkah pelan, seperti penari balet, menghindari lantai yang berderit.

Alif mengintip kamar Aminah di tengah rumah. Gadis kecil itu tertidur lelap dengan mulut terbuka. Ia melanjutkan, merasakan lantai dingin di bawah kakinya, melewati kamar Haji Engkus yang penuh dengkuran. Alif tahu bahwa Siti takkan terbangun, kecuali saat adzan subuh. Ia mencapai pintu depan, membukanya perlahan. Angin malam dingin menyapu wajahnya saat ia keluar dari rumah. Di luar, obor yang tertancap di pagar memberikan cahaya temaram. Alif memegang obor, bertekad menyelidiki teror kuda gonjreng. Beberapa kucing peliharaannya tidur di bawah pelupuh, mengeong nyaring saat ia melewati mereka.

*** 

Maneh anakna kuwu, masa teu wani sih?[1]” ejek teman-temannya, saat Alif kecil menantang arus sungai deras setelah hujan. Haji Engkus dan Siti sudah berkali-kali melarangnya, namun, melihat air sungai yang mengalir deras, Alif malah terpacu untuk berenang. Teman-temannya berteriak, “Buru luncat! Ceunah maneh euweuh kasieun! Ah, huntu maneh mah! Tukang bohong![2]

Alif merasa jantungnya berdebar kencang saat ia melompat ke dalam air. Awalnya ia masih bisa berenang, mengayuh kakinya menuju tepi sungai yang hanya tiga meter lagi. Namun, tiba-tiba kakinya terasa kram, dan arus sungai menderu dengan kekuatan yang mengancam. Setiap gelombang yang menyapu tubuhnya terasa seperti suara alam yang mengancam. Tubuhnya merasa terjerat dalam jaring tak kasat mata, ditarik ke kedalaman yang menunggu untuk menelan.

Lihat selengkapnya