Orang akan cepat menghakimi dari apa
yang mereka dengar tentangmu, tapi
Selama kamu tahu jalanmu benar, biarkan penilaian mereka berlalu seperti angin.
MALAM itu begitu pekat, angin dingin dari arah pegunungan menyusup sampai ke tulang. Alif, yang tadinya hanya berniat mengistirahatkan tubuhnya sejenak, kini terduduk di atas kursinya, terbangun oleh suara yang aneh. Dentuman langkah kaki kuda bercampur suara gemerincing logam terdengar samar di kejauhan, seperti mengusik ketenangan malam. Alif mengernyit, mendengarkan lebih jelas.
"TOK! TAK! TOK! TAK! KRINCING! KRINCING!"
Jantungnya berdebar. “Kuda gonjreng?” gumamnya, mengenang cerita-cerita menakutkan yang sering ia dengar tentang teror kuda misterius yang konon sering terdengar di malam-malam gelap.
Alif menegakkan tubuh, kantuknya hilang seketika. Ia mengambil obor, mengenakan sarung, dan dengan langkah pelan keluar dari rumahnya yang remang-remang. Suara kuda gonjreng itu masih terdengar, dan kini lebih jelas.
"TOK! TAK! TOK! TAK! KRINCING!"
Hatinya bergejolak. Di satu sisi, rasa takut mulai menghantuinya, tapi di sisi lain, ia ingin membuktikan sesuatu. Teringat pada kata-kata Haji Engkus yang selalu menganggapnya lemah dan tidak bernilai tanpa dukungan ayahnya, Alif ingin menunjukkan keberaniannya. “Jadi anak kuwu harus lebih berani dari orang biasa,” kata Haji Engkus suatu kali. Sejak saat itu, setiap kali ia merasa ragu, bayangan hinaan ayahnya selalu muncul, menambah beban di hatinya.
Dengan obor menyala di tangan, Alif melangkah menuju arah suara. Setiap langkah membawa ingatan masa kecilnya ketika ia hampir tenggelam di sungai karena mengikuti tantangan teman-temannya. “Maneh anak kuwu, masa teu wani?![1]” Saat itu, Haji Engkus yang menyelamatkannya, namun rasa malu dan hinaan dari ayahnya membuat Alif bersumpah untuk tak lagi dianggap remeh.