Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #17

15.Nyanyian Si Bisu

ALIF melangkah hati-hati mendekati sumber suara yang samar. Jantungnya berdebar cepat, hampir mengalahkan detak langkahnya yang pelan. Di sampingnya, Memeng, kucing peliharaannya, mengendus-endus dengan penuh kewaspadaan, merasakan keanehan di malam yang tenang ini.

“Génjér-génjér nong kedokan pating kelélér. Génjér-génjér nong kedokan pating kelélér...” Suara lembut dan melankolis itu memenuhi udara malam. Lagu itu, meski familiar, mengirimkan getaran tak nyaman ke telinga Alif. Rasanya seperti memasuki dunia lain di mana batas antara kenyataan dan mitos menjadi kabur.

Langkah Alif semakin mantap saat suara lagu semakin jelas. Ia menggandeng Memeng dan melalui pepohonan yang gelap, akhirnya ia melihat sosok di depan cahaya redup. Alif terhenti, matanya membelalak. Di tengah hutan, berdiri seorang perempuan dengan selop tua yang penuh debu dan genjrengan di tangan. Setiap langkahnya meninggalkan ketukan yang menambah kekacauan suasana malam. Sementara Alif menyadari bahwa suara kuda gonjreng yang selama ini menakutkan ternyata hanyalah suara selop perempuan itu.

Angin malam yang dingin bertiup kencang, menyibakkan rambut panjang gadis itu dan mengungkapkan wajah yang sangat dikenalnya. Alif ternganga, mulutnya terasa kering. “Ba,” bisiknya dengan suara bergetar.

Gadis itu terkejut, berhenti bernyanyi dan berbalik perlahan. Tatapan mereka bertemu di tengah keheningan malam. Ekspresi wajah Ba berubah dari kebingungan menjadi keterkejutan yang mendalam.

“A-Alif!” Suaranya penuh ketidakpercayaan, seperti melihat hantu dari masa lalu. Ba berdiri tegak, tampak seperti makhluk dari zaman yang hilang. Alif, yang masih tertegun, bertanya dengan keraguan, “Jadi, kuda gonjreng itu kau?”

Tanpa menjawab, Ba berbalik dan melarikan diri ke dalam kegelapan hutan. Alif, panik, menurunkan Memeng yang mulai mengeong, dan mulai mengejar Ba. Hutan yang tadinya hanya penuh misteri kini berubah menjadi arena penuh bahaya dan keputusasaan.

Daun-daun berdesir dan ranting-ranting patah di bawah langkah kaki mereka yang terburu-buru. Langkah Ba semakin cepat, sementara Alif berusaha keras untuk tetap di belakangnya. “Ba, tunggu!”

Ba tampaknya tidak peduli dengan teriakan Alif, terus berlari dengan cepat. Dalam kegelapan malam, Ba tersandung dan terjatuh di tepi jurang yang curam. Tubuhnya terhuyung di tepi tebing, membuat hati Alif bergetar dalam ketegangan.

“Baaaaaa!”

Untungnya, Ba sempat meraih batang pohon di tepi jurang. Alif, dengan naluri dan dorongan ketakutan, berlari secepat mungkin dan meraih tangan Ba yang hampir terlepas. “Kau hampir mati! Kenapa harus lari?” teriaknya dengan penuh emosi.

Dengan sekuat tenaga, Alif menarik tangan Ba. Gadis itu akhirnya terkulai di tanah, menatap Alif dengan mata penuh air mata dan misteri. “Aku sudah mati,” jawabnya dengan suara lembut, namun penuh kesedihan yang mendalam.

Lihat selengkapnya