Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #18

16.Dosa Kecil Menjadi Besar

Beberapa tahun sebelumnya.

HUJAN deras malam itu membuat gubuk kecil yang ditempati Larasati Banarwati, nama asli Ba, bergetar. Suara tetesan air yang menimpa atap ilalang seperti nada sedih yang menggema di dalam hati gadis kecil berusia tujuh tahun ini. Keluarganya, ayah dan ibunya, telah diambil tanpa pamit, dituduh sebagai anggota PKI, dan dibuang ke Kalimantan. Mereka pergi begitu tiba-tiba, meninggalkan Ba seorang diri dalam kegelapan malam yang dingin dan penuh rasa kehilangan.

Hanya lima bulan berlalu, tetapi rasanya seperti seumur hidup bagi Ba. Setiap hari, dia mengisi waktu dengan bertani jagung di ladang kecil di belakang gubuknya. Bulu keringat yang menempel di dahinya dan bau tanah yang basah menambah kesedihan mendalam. Ba harus berjuang sendirian, tanpa ada yang membantunya seperti dulu. Dari pagi hingga sore, dia bekerja di ladang sambil menyanyikan lagu Genjer-genjer, lagu yang dulu dinyanyikan bersama orang tuanya sebagai pelipur lara.

Di siang terik, kulit Ba terbakar matahari saat dia merangkak di atas ladang, tangan kecilnya mencengkeram cangkul tua. Setiap gerakan terasa berat, tetapi tidak ada pilihan lain. Selama ini, lagu Genjer-genjer yang dinyanyikannya membuatnya merasa dekat dengan orang tuanya yang telah tiada. Dalam setiap nada, Ba seolah berbicara dengan mereka, mengungkapkan rindu yang mendalam dan kesepian yang tak tertahan.

Namun, di desa sekelilingnya, Ba sering menjadi sasaran ejekan. Anak-anak desa, yang tidak tahu tentang latar belakangnya, menghujani Ba dengan kata-kata kasar. “Anak PKI! Anak kafir!” teriak mereka sambil melemparkan batu-batu kecil.

Suatu sore, saat Ba tengah menyiram tanaman jagung, Jaya, seorang anak laki-laki nakal, dengan sengaja mencipratkan lumpur ke wajahnya. “Kau adalah kutukan!” teriaknya. Lumpur dingin dan lengket itu menempel di kulit Ba, membuatnya merasa kotor dan terhina. Setiap ejekan dan lemparan batu terasa seperti tusukan di hatinya yang rapuh.

Kadang, perundungan menjadi lebih kejam. Pada suatu malam yang kelam, beberapa anak desa yang lebih besar merobek-robek pakaian Ba, menjadikannya mainan mereka. Ba hanya bisa terdiam, tubuh kecilnya bergetar ketakutan. Teriakan-teriakan mereka membuat jantung Ba berdegup cepat, seolah dia akan hancur bersama malam yang mencekam.

Dalam keputusasaan dan kesedihan, Ba menemukan sedikit harapan di tengah malam gelap. Pa'le Tori, seorang lelaki tua dari desa, sering datang untuk menolong Ba. Meskipun banyak warga desa menolak untuk mendekati Ba karena takut dianggap mendukung paham yang salah, Pa'le Tori dan anaknya, Mail Tonggos, tetap memberikan bantuan. Pa'le Tori pernah menawarkan Ba untuk tinggal bersamanya, namun usahanya ditolak keras oleh warga desa. Mereka khawatir Ba akan menyebarkan paham yang dianggap berbahaya.

Malam adalah waktu yang paling ditakuti Ba. Gelapnya malam sering kali membawa kenangan pahit dan kehilangan. Dalam kegelapan, Ba merasa ditinggal oleh semua yang dicintainya. Suara angin yang menggerakkan dedaunan dan suara tikus-tikus kecil yang berkeliaran menjadi saksi bisu kesepiannya. Ketika malam tiba, Ba sering kali duduk sendirian di sudut gubuknya, merasakan ketidakberdayaan dan rasa kehilangan yang mendalam.

*** 

Malam itu, Ba, gadis kecil berusia tujuh tahun, duduk di tengah hutan, duduk di samping Pa’e, ayahnya, dengan penuh antusiasme. Ia menyaksikan Ma’e, ibunya, yang sedang menari dengan anggun di bawah cahaya api unggun. Gaun batik Ma’e bergetar mengikuti gerakannya, sementara angklung yang dimainkan oleh pria-pria berpakaian serba hitam menambah keindahan suasana. Hawa hangat dari api unggun dan aroma kayu bakar menciptakan nuansa damai yang menenangkan hati Ba.

Tiba-tiba, suasana tenang itu pecah. Suara langkah berat dan lampu sorot menyapu hutan, menembus gelapnya malam. Polisi militer masuk ke area, wajah mereka terpantul dalam cahaya lampu, memperlihatkan ekspresi tegang dan bersenjata. Suara teriakan dan letusan bedil menciptakan kekacauan yang menggetarkan tanah, menggabungkan bau tanah basah dengan aroma keringat dan ketakutan.

“Ba, jangan bicara, jangan melakukan apa pun! Kamu harus selamat apa pun yang terjadi!” perintah Pa’e, matanya yang tajam menatap Ba dengan penuh kepedihan. “Pa’e tidak minta apa pun kecuali keturunan agar sejarah kita bisa terus berlanjut.”

Dalam kegaduhan itu, Ba melihat Ma’e, ibunya, terikat di pohon, berjuang melawan ikatan tali. Ma’e yang sebelumnya penuh semangat kini tampak rapuh dan putus asa. “Saya bukan Gerwani! Saya hanya sedang bernyanyi. Apa salahnya menjadi seniman?” teriak Ma’e dengan penuh kesedihan, air mata mengalir deras di pipinya, kilatan lampu sorot menambah intensitas keputusasaannya.

Di sekitar Ma’e, pria-pria berpakaian serba hitam yang sebelumnya tenang kini menatap marah, wajah mereka dipenuhi kemarahan. Polisi militer yang memasuki area mulai meneriakkan tuduhan. “Lagu Genjer-genjer adalah lagu kebangsaan PKI!” salah satu polisi berteriak, memukul tanah dengan gagang senjatanya.

Ma’e mengguncang kepalanya, mulutnya bergetar, berusaha menjelaskan. “Saya tidak tahu itu lagu PKI. Saya hanya bernyanyi!” teriaknya, namun suara Ma’e hampir tenggelam dalam keributan. Pa’e yang berada di dekatnya berusaha melindungi, “Dia bukan Gerwani! Dia hanya menyanyi, tidak ada yang salah!” teriak Pa’e, tetapi usahanya sia-sia di tengah kekacauan yang mengamuk.

Ba yang melihat semua itu merasa hancur. Ia berusaha berlari menuju Ma’e dan Pa’e, tetapi Pa'le Tori, tetua desa yang sering membantunya, meraih tangannya dengan tegas. “Ayo, Ba, kita harus pergi!” teriak Pa'le Tori, menarik Ba menjauh dari kerumunan yang semakin kacau.

Ba melawan, ingin kembali ke orang tuanya, tetapi Pa'le Tori menahannya dengan lembut namun tegas. “Ingat kata Bapakmu, Nduk!” serunya, mengingatkan Ba akan pesan terakhir orang tuanya.

Ranting-ranting tajam tidak sengaja melukai leher Ba, darah mengalir membasahi lehernya. Kesakitan dan kesedihan membanjiri dirinya, tetapi Pa'le Tori terus menyeretnya menjauh dari kekacauan. Di tengah hutan yang gelap, api unggun yang menyala memproyeksikan bayangan bergerak, sementara orang-orang berlarian menghindari polisi militer yang semakin mendekat.

Sambil diseret, air mata Ba mengalir deras, menatap Ma’e dan Pa’e yang ditangkap dan dibawa pergi. Kegelapan malam menelan suara tangisan dan teriakan yang tersisa. Di bawah bayang-bayang pohon yang menari dengan angin malam, Ba dan Pa'le Tori melarikan diri dari kehampaan yang menunggu mereka, meninggalkan kekacauan yang perlahan-lahan memudar di kejauhan.

*** 

Lihat selengkapnya