Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #17

15.Nyanyian Teror Kuda Gonjreng

Jika kamu tidak ingin dihakimi, jangan

terburu-buru menghakimi orang lain,

karena kebenaran yang belum kamu

 ketahui mungkin sama seperti saat kamu disalahkan tanpa dasar.

 

JULI 1977

ALIF duduk bersila berhadapan dengan Ba di tengah hutan larangan yang gelap dan sunyi. Hutan itu terasa seperti benteng yang memisahkan mereka dari dunia luar, hanya ditemani oleh desiran angin dan suara daun-daun yang bergesekan. Malam itu adalah pertemuan ketiga mereka, dan meski awalnya Ba masih ragu, ketulusan Alif akhirnya memenangkannya. Perlahan tapi pasti, Ba mulai mempercayai Alif, terutama setelah melihat betapa seriusnya Alif mendampinginya—bahkan turut serta dalam teror kuda gonjreng. Alif sendiri mengakui, di bawah kegelapan hutan dengan nyala obor yang redup, ia merasa bebas—bebas untuk melukis, sesuatu yang selalu dilarang oleh Haji Engkus. Di tempat ini, bersama Ba, ia merasakan kebebasan yang tak pernah ia bayangkan.

Wajah Ba penuh dengan kesedihan yang tertahan. Matanya merah, tapi air matanya tak mengalir. Ia hanya menunduk, meraba kata-kata yang tak mudah diungkapkan.

“Aku... hidup dalam bayangan dosa yang tak pernah aku buat, Alif,” suaranya terdengar berat, hampir bergetar. “Sejak kecil, orang-orang mencemooh, menuding... hanya karena orang tuaku menyanyikan lagu 'Genjer-genjer'. Mereka bilang kami PKI. Padahal, mereka tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi.”

Alif mendengarkan dengan seksama, seolah merasakan luka Ba yang entah bagaimana terasa akrab. “Kadang, orang begitu mudah menghakimi,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri. “Hanya karena banyak yang sepakat, tidak berarti mereka benar.”

Ba menarik napas, lalu berkata dengan suara lebih pelan, “Kami bahkan tidak punya radio, Alif. Orang tuaku tidak tahu apa-apa soal PKI. Lagu itu kami dengar dari saudara, katanya lagu perjuangan zaman Jepang. Ibuku suka melodinya, dia suka arti dari liriknya yang menggambarkan sebuah perjuangan dan filosofi genjer. Itu sebabnya dia menyanyi dan menari tanpa tahu akibatnya. Ia hanya ingin berjuang dengan mengingatkan kembali orang-orang tentang kesengsaraan hidup kita saat dijajah Jepang. Bukan karena ia Gerwani atau PKI! Gara-gara satu lagu... satu lagu, Alif... hidup kami hancur.” Ba terdiam, suaranya lebih dalam. “Orang-orang yang menghancurkan kami tidak peduli pada kebenaran. Mereka merasa benar karena banyak yang mendukung mereka. Seolah mereka merasa berhak untuk menghukum kami hanya dengan kata-kata. Itu sebabnya lidah lebih tajam dari pedang—karena dengan kata-kata saja mereka bisa membunuh kami secara perlahan.”

Ba menghela napas panjang. “Aku kehilangan segalanya, Alif. Orang tuaku... rumahku. Sejak malam itu, malam di mana aku dan orang tuaku berpisah untuk selamanya, aku seperti hidup di pemakamanku sendiri. Kami dihakimi tanpa ampun, seperti cap mati yang menempel di kepala kami. Orang-orang percaya apa yang ingin mereka percayai, hanya karena aku anak orang kecil. Hanya karena mereka bilang kami jahat, maka kami dianggap pantas dihabisi. Apa mereka tidak berpikir... bagaimana kalau kami tidak bersalah? Mengapa mereka tidak membiarkan Tuhan yang menghukum? Bukankah yang Maha Adil itu Tuhan, bukan manusia?“

Alif terdiam. Perasaan itu—dituduh atas sesuatu yang bukan kesalahanmu—terasa begitu akrab. Nama Haji Engkus, ayahnya, selalu menjadi bayangan yang menekan setiap langkahnya, setiap keputusan yang ia buat. Dunia selalu punya cara untuk membebani orang dengan dosa yang bukan miliknya.

Lihat selengkapnya