Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #18

16.Dialog Hutan Larangan

Kalau kamu yakin kamu kuat,

maka kamu akan jadi kuat. Sebaliknya,

jika kamu ragu, dunia akan ikut

menundukanmu. Karena apa yang ada di

kepala dan hatimu, itulah yang

mengendalikan hidupmu.

 

Hari-hari berikutnya, Alif semakin larut dalam ritme teror kuda gonjreng. Malam demi malam, desa yang sunyi lelap dalam kegelapan, sementara Alif dan Ba menari di antara bayangan, seolah menguasai malam. Rumah Haji Engkus, dengan suara dengkuran berat yang terdengar dari kamar dalam, terasa jauh, hampir seperti dunia lain. Di saat desa tertidur, Alif menyelinap keluar, membawa rantang makanan yang ia siapkan sendiri—nasi goreng, kerupuk, dan teh hangat yang mengepul, aromanya membawa kehangatan di tengah malam yang dingin.

Di hutan larangan, Ba menunggunya di bawah sinar obor. Wajah Ba tak lagi menyiratkan rasa takut seperti dulu. Kini, ada senyuman lebar, seolah ia menemukan kebebasan di tempat yang selama ini dianggap tabu. Hutan ini bukan lagi tempat terlarang, tetapi kerajaan mereka, di mana tak ada satu pun manusia yang berani mengusik.

“Kamu bawa makanan?” Ba menyapa Alif, suaranya renyah di tengah sunyi. “Malam ini, kita bisa nikmati sambil melihat desa terperangkap dalam ketakutan.”

 

Alif tertawa kecil, meletakkan rantang di tanah. “Aku pikir, kalau kita mau bikin teror, kita butuh energi lebih. Lagipula, teror atau tidak, kita harus bersenang-senang, kan?”

 

Ba tertawa lepas. “Lucu juga. Waktu dulu aku takut keluar rumah, orang-orang itu yang bikin aku gentar. Tapi sekarang, lihatlah! Mereka malah ketakutan keluar malam karena kita.”

Suara sepatu selop dan alat musik bergetar mengiringi mereka saat malam semakin larut. Di bawah naungan pohon-pohon besar, mereka menciptakan suara yang menakutkan. Setiap gerakan, setiap langkah, membuat suasana desa semakin sunyi. Orang-orang takut keluar rumah, takut bertemu dengan apa yang mereka anggap setan yang merajalela di malam hari. Bau dupa dan sesajen tersebar di mana-mana—nasi kuning, bunga-bunga melati, dan buah-buahan yang disusun dengan hati-hati. Aroma dupa yang menusuk bercampur dengan wangi tanah basah dari hujan sore tadi, menciptakan suasana mistis.

“Lihat, mereka benar-benar percaya bahwa kita setan.” Ba berkata dengan tawa tertahan, matanya bersinar dalam cahaya obor. “Hanya dengan menari dan memainkan suara ini, kita bisa membuat mereka takut setengah mati.”

Alif tersenyum, merasakan kekuatan dalam dirinya yang belum pernah ia sadari. “Aku rasa mereka takut pada apa yang tidak mereka pahami. Ini seperti cara kita mengambil alih kekuasaan. Di malam hari, saat semua terlelap, kita yang berkuasa.”

Setiap langkah mereka di hutan membawa rasa lega bagi Alif. Di sini, ia bukan lagi ‘anak Haji Engkus’, pewaris nama besar yang harus menjaga martabat keluarga. Ia bebas, tanpa harus memikul beban nama baik ayahnya. Bersama Ba, ia merasa hidup—lebih hidup daripada sebelumnya.

Ba berhenti sejenak, menatap Alif dengan tatapan yang sulit dijelaskan. “Kamu tahu, Alif... di siang hari, aku harus berjalan dengan hati-hati, selalu merasa diawasi. Tapi di malam seperti ini, aku bebas. Aku yang mengendalikan ketakutan mereka. Dulu mereka yang menghantui hidupku. Sekarang, aku yang menghantui mereka.”

Lihat selengkapnya