Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #20

18.Nyanyian Teror Kuda Gonjreng

ESOK malamnya, Alif melangkah dengan hati penuh antisipasi, menunggu saat teror kuda gonjreng kembali menerpa desanya. Langit gelap menyelimuti desa, diterangi oleh obor-obor yang redup, sementara rumah-rumah tampak tertutup rapat. Haji Engkus mendengkur keras di kamarnya, suara napasnya melengkapi kesunyian malam. Siti tidur dengan lelap, tubuhnya terbungkus selimut tebal, dan Aminah terlena dalam tiduran yang tenang, seolah berada di alam mimpi yang damai.

Alif perlahan keluar dari rumah, menutup pintu dengan lembut agar tidak membangunkan yang lain. Di luar, angin malam berhembus dingin, menggoyang-goyangkan dedaunan di kebun depan. Tiada listrik, hanya sinar obor yang menjadikan gelap semakin menakutkan.

Di kejauhan, Alif melihat sosok Ba dengan jelas. Ba tampak bergerak cepat di antara pepohonan, memanfaatkan segala sesuatu di sekelilingnya untuk menciptakan suasana mencekam. Dengan sepatu selop yang dipenuhi batu, Ba menginjak tanah dengan hati-hati, menciptakan suara gemerutuk yang mirip dengan langkah kuda. Selain itu, Ba memanfaatkan alat musik tradisional yang menghasilkan bunyi bergetar—sebuah alat yang terbuat dari logam dan kayu, yang digerakkan dengan tangan, menambah efek suara yang menggelegar seolah-olah ada pasukan kuda yang melaju.

Alif menyaksikan dengan penuh perhatian, terdorong rasa ingin tahunya. “Ba, apa yang kamu lakukan di sini tengah malam begini?” tanyanya sambil melangkah mendekat.

Ba terkejut dan berhenti sejenak, namun segera menata dirinya. "Hanya melakukan apa yang harus dilakukan," jawabnya dengan suara yang berat.

Alif mengangkat obornya, menerangi wajah Ba yang dipenuhi kelelahan dan tekad. “Kamu tidak perlu melakukannya sendirian. Mungkin ada cara lain untuk membebaskan dirimu dari semua ini.”

Ba memandang tanah, wajahnya berkerut oleh ketegangan. “Ini satu-satunya cara agar mereka merasa apa yang aku rasakan. Dengan suara-suara ini, aku berharap orang-orang tetap di dalam rumah, dan aku bisa bebas dari rasa sakit yang terus membebani.”

Alif memfokuskan pandangannya pada Ba. "Ceritalah padaku. Kadang, berbicara bisa membantu."

Ba menghela napas dalam-dalam, suara bunyi bergetar masih terdengar samar di belakangnya. “Dulu, aku dan keluargaku hidup bahagia. Ayahku seorang seniman, menyanyikan lagu-lagu perjuangan seperti Genjer-genjer. Kami tidak tahu lagu itu terkait dengan PKI. Kami hanya menganggapnya sebagai lagu semangat. Namun, setelah orangtuaku ditangkap dan kami harus bersembunyi, semua berubah.”

Lihat selengkapnya