Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #21

19.Teror dan Harapan

HARI-hari berikutnya, Alif semakin akrab dengan ritme teror kuda gonjreng. Malam demi malam, saat desa tertidur dalam kegelapan, Alif dengan senang hati ikut bergabung dalam ritual tersebut. Kegelapan malam menyelimuti rumahnya, Haji Engkus, Siti, dan Aminah tertidur pulas dalam mimpi mereka. Suara dengkuran Haji Engkus mengisi ruang, sementara aroma tidur yang tenang menembus dinding rumah.

Dengan cermat, Alif menyelinap keluar rumah. Suara langkahnya lembut di atas tanah basah, setiap langkahnya diiringi oleh desiran angin yang dingin. Ia membawa rantang berisi makanan dan minuman yang disiapkannya dengan penuh perhatian—nasi goreng, kerupuk, dan teh hangat. Aroma masakan yang baru dipanaskan menyebar, memberi kehangatan di tengah dinginnya malam.

Sesampainya di hutan larangan, Alif menemui Ba yang sudah menunggu di bawah sinar obor yang redup. Ba tampak lebih santai kali ini, wajahnya menyiratkan rasa nyaman yang belum pernah terlihat sebelumnya. Mereka berdua berdiri di antara pohon-pohon yang tinggi, dikelilingi oleh heningnya malam yang hanya terpecah oleh suara jangkrik dan angin lembut.

“Eh, lihat siapa yang datang,” Ba menyambut Alif dengan senyuman, “Kamu membawa makanan? Sepertinya malam ini akan lebih seru.”

Alif meletakkan rantangnya di atas tanah, mengeluarkan makanan dengan penuh semangat. “Aku pikir kita butuh energi ekstra malam ini. Lagipula, malam-malam seperti ini harus dinikmati.”

Ba tertawa kecil, kemudian mulai membantu Alif menyiapkan makanan. “Sungguh tak terduga. Aku belum pernah berpikir kamu akan ikut serta dalam teror ini.”

Alif mengambil sepotong kerupuk dan menggigitnya sambil menyenggol bahu Ba dengan penuh canda. “Kadang, teror bukan tentang menakut-nakuti. Ini lebih seperti cara kita untuk melawan kebosanan dan melarikan diri dari rutinitas sehari-hari. Lagipula, siapa bilang kita tidak bisa bersenang-senang dalam prosesnya?”

Mereka tertawa, suara mereka berbaur dengan heningnya malam. Alif dan Ba mulai menciptakan suara teror dengan penuh semangat—menggunakan sepatu selop dan alat musik yang mengeluarkan bunyi bergetar. Setiap gerakan dan suara yang mereka buat menambah keceriaan malam, dan pohon-pohon di sekitar seolah ikut berdansa dengan irama mereka.

Seiring berjalannya waktu, Alif mulai merasa semakin dekat dengan Ba. Saat mereka beristirahat, Alif menggambar Ba dengan penuh perasaan. Cahaya obor menerangi kertas gambar, memperlihatkan setiap detail wajah Ba dengan lembut dan penuh kehangatan. Gambar itu memancarkan sisi lembut dan keindahan yang sering tersembunyi di balik topeng teror dan kegembiraan.

Saat Ba melihat gambar yang Alif buat, matanya bersinar dengan rasa takjub. “Ini luar biasa, Alif. Aku tidak pernah tahu aku bisa digambarkan seperti ini. Ini seperti melihat diriku dari sudut pandang yang berbeda.”

Alif tersenyum, “Ini hasil dari berbagi malam-malam kita. Aku merasa aku bisa menggambar dengan bebas karena kamu membiarkan aku melihat sisi lain dari dirimu.”

Lihat selengkapnya