Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #22

20.Jejak dalam Bayang-Bayang

PAGI itu, Siti mengeluh keras di dapur, suaranya serak dengan nada kesal, "Ini sudah keterlaluan. Setiap sudut desa penuh dengan sesajen. Teror kuda gonjreng membuat orang-orang semakin ketakutan."

Haji Engkus menyahut dengan tenang, "Hanya kuda. Kenapa mesti takut? Kita harus mengingatkan mereka untuk tidak menaruh sesajen sembarangan. Ini bukan hal yang perlu ditakuti."

Siti memandang Haji Engkus dengan tatapan frustrasi, "Tapi semakin banyak sesajen setiap malam. Bagaimana kalau ini semakin parah?"

Alif yang mendengarkan perbincangan tersebut, berpura-pura tidak tahu menahu. Dalam hati, ia merasakan kegembiraan dari teror kuda gonjreng yang dinikmatinya bersama Ba. Aroma dupa yang tersisa di udara malam sebelumnya menambah keseruan malam.

Saat malam menjelang, Alif merasakan getaran kegembiraan. Dalam keremangan, ia diam-diam menuju tempat pertemuan mereka. Di bawah sinar bulan yang lembut, langkah mereka menyelinap di antara bayangan desa yang sepi. Suara kuda gonjreng yang melantun mengisi malam, membawa aroma dupa yang menempel di hidung—paduan antara baunya yang menyengat dan aroma tanah lembap dari sisa hujan.

Mereka bergerak hati-hati melewati sesajen yang tersebar di sepanjang jalan. Lilin-lilin kecil bergetar dalam angin malam, memberikan cahaya redup pada bunga-bunga dan buah-buahan yang ditata di sekelilingnya. Dengan sepatu selop yang bergetar dan alat musik yang bergetar, Ba memulai ritual teror. Suara gemericik sepatu kuda dan dentingan alat musik membuat malam semakin terasa hidup dan misterius.

Desa, yang biasanya ramai, kini menyusut dalam keheningan. Ba dan Alif bergerak melalui kegelapan dengan penuh kehati-hatian. Aroma dupa yang menyebar bercampur dengan bau lembap dari daun dan tanah basah. Setiap langkah mereka disertai dengan desisan lembut dan getaran dari alat musik Ba. Kegelapan malam menjadi sahabat mereka, menyembunyikan langkah-langkah mereka.

Sesampainya di hutan larangan, Ba memulai tarian yang anggun di bawah cahaya obor yang dipasangnya. Dengan lembut ia menari, suara merdunya menyebar seperti alunan sinden dari Jawa, menyanyikan lagu-lagu lama yang menawan. Alif terpesona oleh keindahan suara dan gerak tubuh Ba. Malam menjadi panggung pribadi mereka, di mana segala beban dan ketegangan larut dalam keindahan dan harmoni.

Dalam suasana yang tenang dan menenangkan, Ba tiba-tiba menawarkan pijatan pada Alif, "Kau terlihat lelah, Alif. Mau kubantu memijat bahumu?"

Alif memandang Ba dengan ragu, "Ah, tidak usah, Ba. Aku hanya sedikit pegal."

Ba tersenyum lembut, "Tidak ada salahnya mencoba. Hanya pijat, tidak lebih dari itu."

Akhirnya, Alif menerima tawaran Ba. Saat tangan Ba mengusap lembut bahu Alif, sebuah rasa lega meresap ke dalam tubuhnya. Tiba-tiba, dari balik pepohonan, muncul bayangan-bayangan samar yang bergerak perlahan. Alif dan Ba menoleh ke arah bayangan tersebut, jantung mereka berdegup kencang. Bayangan itu menari-nari di antara cahaya obor, membuat suasana menjadi semakin misterius.

Alif, dengan nada hati-hati, berbisik, "Apa itu, Ba? Kau melihatnya?"

Ba memandang dengan tatapan waspada, "Aku tidak tahu. Tapi kita harus tetap tenang."

Kedua insan ini berdiri di tengah hutan larangan, keheningan malam menyelimuti mereka. Bayangan-bayangan itu menghilang secepat mereka datang, meninggalkan kesan misteri yang membuat Alif dan Ba merasa semakin dekat.

Dalam momen tersebut, mereka saling mengisi satu sama lain. Alif merasa lebih memahami Ba, sementara Ba merasa diterima dan diperhatikan. Hutan larangan menjadi saksi dari sebuah hubungan yang semakin erat—hubungan yang menggabungkan kepercayaan dan kenyamanan dalam kegelapan malam.

 Dengan hati berdebar dan rasa ingin tahu yang mendalam, Alif dan Ba kembali melanjutkan malam mereka, merasakan ketenangan di tengah ketegangan. Kegelapan malam, bersama dengan kehadiran misterius yang baru saja mereka alami, menandai awal dari sesuatu yang lebih dalam, sebuah perjalanan yang akan mereka jelajahi bersama.

*** 

 Di antara deru daun dan cahaya obor yang merembes melalui celah pepohonan, hutan larangan malam itu tidak lagi sunyi. Suara desis angin bercampur dengan bunyi langkah kaki yang menyentuh tanah lembap, menyebarkan keringat dingin di pelipis Ba. Aroma basah tanah dan bau lembut dupa dari sesajen yang dibakar menyatu dalam udara malam. Sosok-sosok gelap melingkupi mereka, dan Alif serta Ba tertegun di tengah kerumunan yang meresahkan. Malam yang tadinya mereka anggap sebagai tempat aman dan bebas, kini penuh dengan ketegangan.

"Ba?" Suara nyaring memecah keheningan, menembus kegelapan yang mencekam. Sarti, tiba-tiba muncul dari balik pepohonan, menatap Ba dengan mata yang memancarkan rasa kaget dan kemarahan. "Jadi ini kau yang lakukan semua ini? Aku… aku tidak percaya!”

Sarti melangkah maju, setiap langkahnya menggema di hutan yang sunyi. “Aku sudah membantu kau. Tapi lihatlah sekarang! Kau malah menciptakan teror yang meresahkan seluruh desa! Ini memalukan! Aku tidak pernah mengira kau akan berbuat seperti ini!”

Bibir Ba gemetar, air mata mulai membasahi pipinya. “Bude, aku tidak tahu kalau semua ini akan jadi seperti ini. Aku hanya... hanya ingin membuat mereka takut supaya aku bisa bebas.”

Sarti, dengan wajah yang memucat dan penuh rasa sakit hati, membentak, “Kau tahu betapa sulitnya aku menjaga rahasia ini untukmu! Kau merusak segala sesuatunya dan membuat semua usaha kami sia-sia. Desa ini menderita karena tindakanmu yang sembrono!”

Emak Amir, tiba-tiba melangkah maju dengan wajah marah, tangannya bergetar. “Apa maksud semua ini? Alif, Ba ini bisu, kenapa tiba-tiba bisa bicara? Apa kau tahu betapa mengganggunya teror ini bagi kami semua?”

Emak Amir berteriak dengan suara melengking, “Seluruh desa tidak bisa tidur, anak-anak menangis, dan para orang tua terjaga dengan ketakutan. Teror kuda gonjreng ini membuat kami hidup dalam kekacauan! Apa kau tidak melihat dampaknya?”

Haji Engkus, muncul dari kerumunan dengan wajah terkejut. “Alif? Apa yang kau lakukan di sini? Aku kira kau sedang tidur nyenyak! Kenapa kau ikut dalam teror ini?” Suaranya penuh dengan campuran ketidakpercayaan dan kemarahan. “Jadi kau yang terlibat juga? Apa yang kalian pikirkan?”

Warga-warga saling berbisik dengan suara bergetar, “Apa mereka tidak mengerti betapa mengganggunya ini bagi kami? Seluruh malam kami tidak bisa tidur, dan sekarang kami harus menghadapi ini? Keluarga kami sangat terganggu!”

“Ini sudah melewati batas!” seru seorang warga, suaranya bergetar penuh kemarahan. “Kalian membuat kami hidup dalam ketakutan! Apa kalian tidak memikirkan dampak dari tindakan kalian?”

Lihat selengkapnya