Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #19

17.Jejak dalam Bayang-Bayang

Balaslah kejahatan dengan kebaikan,

Karena kejahatan hanya akan

menumbuhkan pohon keburukan yang

akarnya meracuni dirimu sendiri sebelum menyentuh orang lain.

 

DI ANTARA desau angin dan cahaya obor yang merembes melalui celah pepohonan, hutan larangan malam itu tidak lagi terasa aman. Langkah kaki Alif dan Ba yang tadinya ringan, kini berubah menjadi berat. Aroma tanah lembap bercampur dengan bau dupa dari sesajen yang terbakar, menambah suasana mencekam. Selama dua bulan, mereka telah berhasil membuat desa gemetar ketakutan dengan teror kuda gonjreng, dan malam ini bukanlah pengecualian.

Mereka berjalan perlahan, selop yang mereka kenakan membuat suara berderap seperti tapak kuda, bergaung di jalan-jalan desa yang lengang. Mereka tahu, setiap langkah menciptakan ketakutan di hati penduduk. Suara itu—mirip derap kuda yang berlari di tengah malam—adalah bagian dari permainan mereka, cara mereka menguasai malam tanpa terlihat, karena gelap menyembunyikan mereka dengan sempurna. Mereka tak butuh cahaya, hanya langkah yang samar dan bayang-bayang yang menari di bawah bulan.

Hingga akhirnya, mereka memutuskan duduk di atas pohon asam besar di dalam hutan larangan.

“Dua bulan, Ba.” Alif tersenyum kecil, matanya penuh kepuasan. “Kita berhasil membuat mereka merasa apa yang kamu rasakan, ketakutan pada sesuatu yang tak terlihat. Mereka dihantui oleh suara, seperti kamu yang dihantui oleh ucapan-ucapan mereka.”

Ba mengangguk pelan, sedikit senyum muncul di wajahnya yang letih. “Iya, Alif. Sekarang mereka tahu, ucapan-ucapan mereka membunuhku berkali-kali, tapi tidak membuatku mati… hanya mati rasa.”

“Apakah ini maksud Pa’e-mu dengan kau lahir untuk hal besar? Ide membuat teror kuda gonjreng, sehingga kau bisa membuat duniamu sendiri tanpa terganggu, dan membagi rasa takutmu dengan orang lain tanpa mengintimidasi adalah bagian besar dalam hidupmu?” tanya Alif dengan nada jenaka.

“Mungkin.” Ba menjawab diiringi tawa keduanya.

Namun, tiba-tiba terdengar suara dari kegelapan.

“Ba?!”

Tawa Alif dan Ba langsung terhenti, tatapan mereka mencari sumber suara. Tanpa mereka sadari, penduduk desa sudah mengepung mereka. Dari balik pepohonan, Sarti muncul dengan wajah penuh kemarahan dan ketidakpercayaan.

“Jadi, ini semua kerjaanmu? Aku... aku gak percaya!” Sarti mendekat, langkahnya semakin cepat, amarahnya semakin terlihat jelas. “Aku yang selalu bantu kamu, jaga rahasiamu. Tapi lihat sekarang! Kamu malah bikin desa ini ketakutan! Ini benar-benar memalukan, Ba. Aku gak pernah nyangka kamu bakal kayak gini.”

Ba terdiam, air mata mulai mengalir di pipinya. “Bude, aku... aku cuma pengen mereka takut, biar aku bisa bebas. Aku gak tahu semua bakal jadi begini.”

Sarti menatap Ba dengan penuh kekecewaan. “Kau pikir aku jaga rahasia ini buat apa? Buat lihat kamu bikin masalah kayak gini? Desa ini menderita gara-gara ulahmu, Ba. Kamu gak mikir, ya?”

Kerumunan warga mulai berdatangan, wajah-wajah penuh amarah dan kebencian memenuhi sekitar mereka. Emak Amir maju dengan wajah penuh kekesalan. “Alif? Ba ini bisu, kenapa sekarang tiba-tiba bisa ngomong? Apa kamu gak ngerti gimana teror ini bikin desa ini kacau?”

Suara Emak Amir menggema, menghancurkan keheningan yang tadi menjerat mereka. “Orang gak bisa tidur, anak-anak nangis terus, orang tua ketakutan! Teror kuda gonjreng ini benar-benar bikin rusak desa kita!”

Kerumunan semakin bising, suara amarah semakin memuncak. Dari balik kerumunan, Haji Engkus muncul, wajahnya merah padam. “Alif?! Apa-apaan ini? Aku kira kamu di rumah! Kau ikut-ikutan dalam teror ini? Kau gak malu sama nama keluarga kita?”

Suara bisik-bisik warga menjadi semakin keras, semakin penuh tuduhan. “Jadi mereka pelakunya! Teror ini cuma main-main buat mereka, tapi buat kita neraka!”

“Ini keterlaluan!” teriak salah seorang warga. “Kita gak bisa tidur, gak bisa kerja. Semua gara-gara mereka!”

Lihat selengkapnya