Jangan biarkan ketakutan akan ketidakpastian menghentikan langkahmu, karena kebesaran hanya datang pada mereka yag berani melangkah meski dalam keraguan.
ALIF masih mengemasi barang-barangnya. Suasana rumah terasa begitu menyesakkan. Cahaya lampu minyak yang redup memantulkan bayangan panjang di dinding kayu. Bau kayu tua dan debu bercampur dengan udara yang tebal oleh kesunyian. Suara ritsleting tas yang Alif tarik menjadi satu-satunya bunyi yang memecah keheningan itu.
Di ambang pintu, Haji Engkus berdiri, tatapannya tajam penuh amarah yang tertahan. “Alif, kau benar-benar berpikir bisa pergi begitu saja? Aku bapakmu, dan aku bilang: jangan pergi! Jangan libatkan dirimu dengan gadis itu!” Suaranya keras, penuh dengan otoritas yang selalu ia bawa sebagai pemimpin keluarga.
Alif menghentikan tangannya, membereskan barang-barang dengan lebih lambat, kepalanya tertunduk. Dia menghela napas panjang. “Abah, bukankah selama ini Abah selalu bilang untuk menolong orang-orang yang susah? Ba butuh aku. Aku tidak bisa meninggalkannya.” Suaranya tegas, namun ada getaran di dalamnya.
Haji Engkus mengentakkan kakinya ke lantai kayu, membuat debu-debu beterbangan. “Menolong, ya! Tapi menolong orang yang pantas ditolong! Kau tidak ingat, pernikahan itu harus sekufu, Alif. Kau pikir Ba cocok untukmu? Gadis itu, anak PKI! Dan kau tinggalkan Ratna yang baik dari keluarga terpandang demi gadis yang tak jelas asal-usulnya? Kau salah mengambil jalan, Alif!”
Alif menahan gejolak di dadanya, rasa amarah mulai memuncak. “Jadi, karena Ba anak dari keluarga yang dituduh PKI, dia tidak pantas untuk ditolong? Bukankah Abah yang selalu mengajarkan untuk tidak meninggalkan mereka yang lemah?” Alif berusaha menahan suaranya tetap tenang, meskipun hatinya bergejolak.
Haji Engkus mendekat, jarak di antara mereka semakin sempit. Tatapannya tajam, suaranya rendah tapi penuh ancaman. “Dengar, Alif. Menolong orang lemah tidak berarti menghancurkan diri sendiri. Bagaimana bisa kau memilih meninggalkan Ratna yang baik demi gadis dengan dosa turunan? Dan kalau kau memang tidak berbuat dosa, mengapa harus pergi? Yang salah di sini adalah perempuan itu, bukan kau! Kenapa kau tak bisa menjaga nama baik keluarga seperti Aminah?”
Alif merasa darahnya mendidih. Ia selalu merasa dibandingkan dengan Aminah, adiknya yang selalu jadi kebanggaan keluarga. “Abah selalu lebih sayang pada Aminah! Setiap hari, Abah selalu takut aku membuat kesalahan, tapi Abah tak pernah lihat betapa aku juga berusaha!” Suaranya semakin meninggi, menyiratkan ketidakpuasan yang lama terpendam.
Haji Engkus menghela napas, menggelengkan kepala perlahan. “Ini bukan soal sayang atau tidak sayang, Alif. Ini soal tanggung jawab. Kau lelaki, harus dididik dengan keras agar tahu apa itu tanggung jawab. Kau baru akan mengerti ketika kau punya anak perempuan nanti.” Suaranya mulai melunak, meskipun kemarahan masih tersirat.