Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #23

21.Salam Perpisahan

ALIF masih mengemasi barang-barangnya, mengumpulkan baju dan alat-alat pribadinya ke dalam tas. Suara ritsleting yang ditarik terdengar pelan, seolah membentuk ritme yang mengisi kekosongan ruangan. Di antara bau kayu tua dan debu yang tebal, ruang tamu yang biasa menjadi tempat pertemuan keluarga kini terasa penuh beban. Cahaya lampu yang redup menciptakan bayangan panjang di dinding kayu yang mulai lapuk, seakan menceritakan kenangan yang tergores di setiap sudut rumah itu.

Haji Engkus berdiri di ambang pintu, tatapannya penuh amarah. "Alif, apa kau benar-benar berpikir bisa pergi begitu saja? Patuhi bapakmu ini! Sejak kapan kau pernah mendengar kata-kataku soal jangan dekat-dekat dengan orang seperti Budi dan kawanannya? Sekarang kau malah melibatkan dirimu dengan gadis yang tak jelas asal-usulnya!"

Alif berhenti sejenak, menghela napas panjang sebelum menjawab. “Abah, bukankah selama ini Abah selalu mengajariku untuk menolong orang yang lemah? Menyadarkan mereka yang tersesat?”

Haji Engkus menggelengkan kepala dengan marah. “Ya, menolong orang lemah, tapi bukan membela orang-orang yang tidak jelas asal-usulnya, apalagi yang tidak jelas karakternya. Kau selalu salah ambil keputusan, Alif! Dan lihat sekarang, kau malah ingin pergi dengan gadis itu!”

Alif merasakan panas di dadanya semakin membara. Ia menahan diri untuk tidak meledak, tapi kata-kata Abahnya sudah mencapai puncak kesabarannya. "Jadi menurut Abah, saya selalu salah? Apa saya tidak punya hak untuk membuat keputusan sendiri?”

Haji Engkus mendekat, menatap Alif tajam, “Tanpa aku, kau mungkin sudah diarak keliling kampung, dicemooh karena terlibat dalam teror kuda gonjreng. Untung saja kau anak Haji Engkus!”

Mendengar kata-kata itu, Alif merasa seluruh tubuhnya menegang. Selama ini, ia selalu merasa hidup di bawah bayang-bayang ayahnya. Semua yang ia lakukan selalu dianggap karena perlindungan Haji Engkus. Sebagai anak Kuwu, ia sering dihina sewaktu kecil—disebut pengecut, penakut, anak yang hanya sembunyi di balik kolor ayahnya.

"Abah selalu bilang aku di bawah perlindungan Abah. Tapi Abah tidak pernah percaya kalau aku bisa berdiri sendiri," jawab Alif, suaranya penuh dengan kesedihan dan keletihan. “Aku lelah dianggap seperti anak kecil. Jika aku tinggal di sini, warga desa akan terus memandangku sama seperti waktu aku kecil—anak Kuwu yang tak bisa membuat keputusan sendiri.”

Haji Engkus terdiam, mendengar Alif untuk pertama kalinya berbicara dengan nada seberani itu.

Alif melanjutkan dengan suara yang lebih lembut, namun penuh keyakinan, "Abah, aku tahu hidup di luar desa ini tidak akan mudah. Aku tahu hidup bersama Ba tidak akan semudah yang terlihat. Tapi inilah saatnya aku membuktikan bahwa aku bukan lagi anak kecil. Aku sudah dewasa, Abah. Dan ini adalah keputusan yang harus aku ambil sendiri."

Siti, yang berdiri tak jauh, masih terisak-isak, memohon agar Alif tidak pergi. Namun Alif tahu, di balik tangisan ibunya dan kemarahan ayahnya, ada kenyataan yang tidak bisa ia hindari: jika ia tetap tinggal, hidupnya mungkin akan lebih nyaman, aman dari segala kesulitan. Di desa ini, dengan status sebagai anak Haji Engkus, ia tidak akan sulit mencari pekerjaan, dan hidupnya akan dijamin. Tapi Alif merasa terjebak dalam bayang-bayang masa kecilnya, seperti burung yang tidak pernah diberi kesempatan untuk terbang.

Lihat selengkapnya