Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #24

22.Hidup Baru Bersama Dosa

DI BAWAH terik matahari yang semakin menyengat, Alif, Ba, dan Budi duduk di bak terbuka mobil pengangkut sayur. Suara mesin tua dan deru angin memecah kesunyian di antara mereka. Perjalanan menuju Karawang terasa begitu panjang dan melelahkan, seakan-akan dunia di sekitar mereka melaju lambat sementara pikiran Alif bergerak dengan cepat, diliputi kecemasan yang tidak kunjung reda.

Alif melirik ke arah Ba yang duduk di sampingnya. Wajahnya yang tirus memucat di bawah sinar matahari yang terik. Budi terlelap di sudut bak mobil, tertutup sebagian oleh tumpukan sayur yang diikat dengan terpal lusuh. Namun, meski ia memandang keluarganya dengan kasih sayang, hatinya tidak bisa berhenti bergulat dengan segala kekhawatiran yang semakin menumpuk.

"Kenapa Karawang, Ba?" suara Alif terdengar tegas, nyaris kalah oleh suara deru mesin. Meski ia sudah setuju dengan tujuan mereka, ada bagian dalam dirinya yang masih bertanya-tanya mengapa Ba memilih tempat itu. Baginya, setiap langkah setelah kepergian dari Buniseuri terasa seperti perjudian besar.

Ba mengedarkan pandangannya ke arah cakrawala, seakan mencari jawaban di balik gunung-gunung yang mulai memudar di kejauhan. "Di Karawang, aku punya teman lama, Mail Tonggos," kata Ba akhirnya. Ia mengeluarkan secarik kertas yang lusuh dari sakunya, menyerahkannya pada Alif. "Dia mungkin bisa membantu kita. Ini surat terakhir yang dia kirim."

Alif menatap kertas itu dengan kerut di dahi. Tulisan tangan di surat itu berantakan, hanya berisi alamat tanpa sapaan atau penjelasan tambahan. Surat yang dingin dan tidak bersahabat, seperti surat bisnis yang ditulis oleh seseorang yang tak terlalu peduli.

"Jadi, kamu mau kita bergantung pada dia?" nada suara Alif sedikit kesal, meski ia berusaha menahannya. Pikiran tentang lelaki lain yang mungkin memiliki tempat dalam hidup Ba mulai mengganggunya.

"Dia satu-satunya harapan kita sekarang," jawab Ba dengan lembut. "Kita belum punya siapa-siapa di sana, Alif. Aku tahu kamu khawatir, tapi—"

"Kita cari tempat sendiri dulu!" potong Alif dengan suara keras yang menyusup ke dalam deru mesin. Dia tidak suka ide untuk langsung mencari bantuan dari orang yang tidak ia kenal, apalagi lelaki lain yang tiba-tiba muncul dalam pembicaraan ini. “Kita akan cari kontrakan dulu, baru penghulu.”

Ba menarik napas panjang. "Tapi, Alif, aku khawatir. Kita baru di sana, dan tentang pernikahan ini..." Suaranya melemah, menyiratkan ketidakpastian yang perlahan menghampiri hatinya.

Lihat selengkapnya