Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #21

19.Hidup Baru Bersama Dosa

Apa yang kau yakini tentang dirimu hari

ini akan membentuk kenyataan esok hari

 

ALIF merebahkan tubuhnya di atas bak belakang truk kol buntung, mata menatap langit Karawang yang mulai mendung. Sepanjang perjalanan, hatinya dipenuhi beban. Ia telah meninggalkan desanya, Buniseuri, dan di belakangnya tertinggal Haji Engkus, bapak yang tak pernah bisa ia pahami sepenuhnya. Alif terpaksa ikut truk ini, milik seorang kenalan Haji Engkus, yang tak ragu menawarkan tumpangan karena nama besar kuwu desa itu. Bahkan di tengah usahanya mencari jalan sendiri, bayang-bayang Haji Engkus terus membuntutinya.

“Aku harus buktikan, ini hidupku,” pikir Alif dengan dada yang berat. Namun setiap kali ia mencoba menyakinkan dirinya, kenyataan tak bisa dihindari. Ia tak tahu ke mana harus pergi, kecuali Karawang, karena Ba memaksa. Teman masa kecil Ba, Mail, ada di sana, katanya bisa membantu mereka. Alif tak punya jawaban lain, selain menyetujui ajakan Ba.

Di sampingnya, Budi duduk memeluk lutut. Bocah desa itu tak pernah memiliki siapa-siapa setelah kehilangan keluarganya. Tanpa kata, ia ikut Alif dan Ba, meski Alif tahu, ia hanya punya sedikit lebih dari keinginan untuk bertahan hidup. Mata Budi yang kecil menatap lurus ke depan, seakan kota Karawang membawa janji kehidupan yang berbeda.

“Kita sampai, Ang.” Suara Ba membuyarkan lamunan Alif. Ia menoleh ke arah Ba yang duduk di ujung bak truk, wajahnya pucat tapi sorot matanya penuh keyakinan. Ba yakin Mail akan membantu. Alif tidak tahu apa yang bisa diharapkan dari seorang teman masa kecil. Namun, di tengah kebingungannya, Ba adalah satu-satunya yang terlihat memiliki arah.

“Kamu yakin ini keputusan yang benar?” gumam Alif pelan, hampir tidak terdengar oleh Ba. Ia memandang jauh, ke garis kabur kota yang mulai terlihat, merasa asing dan terasing, meski ia belum menjejakkan kaki di tanah Karawang.

Ba hanya menoleh sebentar, memberikan senyum yang samar, tapi cukup untuk membuat Alif merasa sedikit lebih tenang. Karawang mungkin adalah awal dari sesuatu. Tapi, di balik harapan itu, ada ketakutan yang semakin besar. Bagaimana jika ini justru membawa mereka pada kegagalan yang lebih besar?

Alif menarik napas panjang, seolah mencari udara yang cukup untuk menenangkan dadanya. Dalam hati, ia berdoa, berharap kali ini, keputusannya untuk meninggalkan desa dan keluarga akan membuahkan hasil. Tapi, ketidakpastian dan rasa bersalah masih menghantui setiap langkahnya. Setidaknya, untuk sekarang, mereka akan mencoba bertahan. Di Karawang. Di kota asing ini. Di tempat yang mungkin menyimpan jawabannya, atau mungkin, menambah luka yang sudah ada.

Mata Alif kembali terarah pada kaki langit Karawang yang kelabu. Apa yang menantinya di sana? Sebuah harapan, atau justru kenyataan pahit? Di balik semua keraguan, ada satu keyakinan yang menggema di dalam hatinya—ia tak bisa kembali lagi ke desa. Karawang kini menjadi tempat satu-satunya. Besok, jawabannya akan terungkap.

 

Karawang menyambut Alif, Ba, dan Budi dengan keheningan yang berat. Angin panas berputar di antara gang-gang sempit, debu beterbangan bersama suara bising pasar yang tak pernah benar-benar berhenti. Setiap sudut kota ini terasa asing dan jauh dari hangatnya desa Buniseuri. Duduk di atas bak belakang truk kol buntung, Alif merasa dadanya semakin berat seiring langkah truk yang membawa mereka menuju rumah Mail, teman masa kecil Ba yang kini menjadi tumpuan harapan mereka.

Lihat selengkapnya