Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #22

20.Dosa yang Diinginkan


Jangan takut

pada masa depan, karena itu sama saja

merendahkan potensimu.

HARI itu, Alif dan Ba mengunjungi kelurahan terdekat untuk mendaftarkan pernikahan mereka. Waktu membuat mereka kembali berdamai, meski mereka tampak saling diam memendam kekesalan setelah perdebatan semalam. Gedung kelurahan itu tampak kuno dan sederhana, terselimuti debu dan terik matahari. Di dalam, ruangan pendaftaran dipenuhi meja-meja kayu yang berantakan dengan berkas-berkas, sementara kursi-kursi di sekelilingnya dipenuhi orang-orang yang menunggu dengan wajah penuh harapan dan kecemasan.

Di luar ruangan, suasana tampak kacau. Mereka melihat seorang ibu yang terlihat sangat lelah, memegang bayi yang dibedong di tangannya, sementara tangan kanannya menggandeng dua anak kecil. Ibu itu tampak putus asa, langsung menuju meja petugas tanpa mengantri.

“Pak, saya tidak bisa ikut Santiaji kemarin karena baru melahirkan. Saya mohon kelonggaran untuk sanksi tersebut,” ujar ibu itu dengan suara gemetar.

Petugas di depannya membuka buku besar berjilid kuning dengan kesal. “Dasar coro, sudah untung bisa pulang dari Pulau Buru! Masih saja banyak alasan!”

Alif bergumam, “Coro?”

“Cecunguk dalam bahasa Jawa,” jawab Ba.

Hati Alif bergemuruh mendengar hinaan Petugas itu pada ibu tersebut. Namun, ia hanya bisa menjadi penonton saat itu. Ini bukan desanya. Ia tidak bisa maju membela orang yang tidak dikenalnya.

Mereka kemudian duduk di bangku tunggu, memperhatikan beberapa orang yang sudah mengantri.

“Sanksi tetap sanksi! Mau habis melahirkan atau apa pun itu!” Petugas melirik dua anak kecil ibu tersebut dan berseloroh, “Jangan terlalu banyak enak-enak. Nanti negara yang repot urus tahanan politik seperti kau!” Kepala ibu itu tertunduk, mendengar sindiran tentang jumlah anaknya. “Terima saja sanksinya! Lanjutkan program Santiaji-nya agar kau dan anak-anakmu menjadi Pancasila sejati!”

“Santiaji?” Alif bertanya pada dirinya sendiri.

“Program pemerintah untuk Tapol 65,” ujar seseorang di sampingnya.

“Tapol?” Alif merasa asing dengan istilah tersebut.

“Tahanan politik 65. Orang-orang PKI,” jelas orang itu.

Alif melirik Ba, yang tampak meremas pahanya dengan tatapan kosong.

“Pemerintah nampaknya ingin membentuk Tapol menjadi Pancasila sejati melalui program Santiaji yang berlangsung setiap pekan. Mereka diajarkan materi seperti GBHN, Repelita, dan P4, semua hal yang berkaitan dengan orde baru. Memang pemerintah ini selalu mengkotak-kotakkan rakyat!” ujar pria itu dengan nada penuh keprihatinan.

Tak lama kemudian, ibu itu bersujud di depan petugas, memohon agar sanksinya dicabut. Tangisannya merobek keheningan, menunjukkan betapa dalamnya ketidakberdayaan yang dirasakannya.

Alif merasa hatinya terenyuh. Ia bertanya pada orang di sampingnya, “Mengapa tidak ada kelonggaran untuk ibu itu? Dia baru melahirkan.”

Orang tersebut menjelaskan dengan nada lembut, “Di masa pemerintahan ini, KTP Tapol 65 harus menanggung beban lebih berat dari kebanyakan. Mereka dan keturunannya dianggap tidak ada, terjebak dalam kemiskinan dan kesulitan. Jadi, terima saja.”

Mendengar itu, Alif menatap Ba yang tampak semakin gelisah.

“Sudah. Saya mau bekerja!” ujar petugas, tidak menghiraukan ibu itu dan melanjutkan pekerjaannya.

Ibu tersebut bangkit dengan wajah merah karena tangisan, menggandeng anak-anaknya menuju pintu keluar. Seorang pria lusuh menghampiri meja petugas.

“Kau Maman?” tanya petugas.

Pria itu mengangguk dan menyerahkan KTP-nya. Petugas memeriksa KTP itu dengan cermat. “Tapol juga?”

Alif bertanya-tanya, “Bagaimana petugas bisa tahu bahwa pria itu Tahanan Politik?”

Orang di sampingnya menjelaskan, “Semua anggota PKI yang terciduk pemerintah diberikan cap seumur hidupnya. KTP mereka dibedakan dengan cap Tapol.”

Hati Alif bergemuruh. Pemerintah benar-benar memojokkan rakyat yang memiliki ideologi komunis, bahkan jika mereka bukan pelaku aktif seperti orangtua Ba.

“Bagaimana pemerintah bisa mengetahui siapa yang Tapol 65?” tanya Alif.

“Pemerintah memiliki buku sampul kuning yang dipegang petugas itu. Di buku itu, mereka yang tercatat sebagai Tapol 65 diperlakukan berbeda. Proses pembuatan KTP mereka juga lebih rumit dan mencolok,” jawab orang itu.

Alif memperhatikan, beberapa orang harus menjalani prosedur foto untuk KTP mereka di ruang terpisah, dengan ekspresi tegang, seakan bersembunyi dari sesuatu yang tak terlihat namun menyakitkan.

Melihat semua itu, Ba tiba-tiba bergetar hebat dan melarikan diri dengan air mata mengalir di pipinya. Alif, terkejut oleh perubahan mendalam dalam diri Ba, segera mengejarnya.

Alif merasa darahnya berdesir saat melihat Ba berlari dengan tergesa-gesa meninggalkan kelurahan. Keringat dingin mengalir di keningnya, namun insting untuk melindungi Ba lebih kuat. Ia bergegas mengejar, berteriak memanggilnya, “Ba, tunggu!”

Langkah Ba semakin cepat, tetapi Alif tak menyerah. Setelah melewati beberapa orang yang melihat keanehan itu, akhirnya ia berhasil meraih tangan Ba. Ia menariknya dengan lembut, namun cukup kuat untuk menghentikan langkah perempuan itu.

“Kenapa, Ba? Kamu kenapa?” Alif bertanya dengan napas terengah-engah, namun matanya penuh perhatian. Ia tahu Ba sedang terguncang. Ia juga tahu alasan di balik kepanikan itu—Ba adalah keturunan PKI, sesuatu yang dirahasiakannya dengan rapat dari dunia, kecuali dari Alif.

Ba menunduk, terisak. “Alif… aku takut. Mereka akan tahu tentang aku. Tentang keluargaku… Mereka akan menandai kita,” suara Ba bergetar, tak kuasa menahan air mata.

Alif terdiam sesaat. Hatinya sesak, karena ia tahu benar apa yang Ba maksud. Sejak mereka tiba di kota, Alif mulai merasakan bagaimana diskriminasi terhadap anak PKI masih nyata, meski bentuknya lebih halus dibandingkan dengan di desa. Di desa, tindakan nyata dilakukan—anak-anak PKI dikucilkan, tak diizinkan bermain bersama anak-anak lain, bahkan sering kali dipandang dengan tatapan curiga. Di kota, diskriminasi itu lebih tersembunyi, lebih halus, namun tetap tajam. Seperti di kelurahan tadi, di mana petugas kelurahan dengan mudahnya menghina seorang ibu yang baru saja melahirkan hanya karena ia memiliki cap sebagai keluarga tahanan politik.

Lihat selengkapnya