Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #26

24.Ibadah Terpanjang

MALAM semakin larut, angin dingin meniupkan udara lembab dari jalanan yang sepi. Alif masih berbaring di tikar lusuh yang terasa semakin keras di bawah tubuhnya. Meskipun matanya terpejam, pikirannya terus berputar. Ucapan pemilik kontrakan dan pertanyaan Ba tentang pernikahan tadi siang terngiang-ngiang di kepalanya. Pikirannya berkelana kembali ke masa lalu, saat ia memutuskan meninggalkan Buniseuri dan menolak nasihat Haji Engkus serta ayahnya.

Ia ingat betapa tegas ayahnya ketika mengatakan, “Kamu belum siap, Alif. Dunia di luar desa ini keras. Di sini, kau punya dukungan, tapi di luar sana? Jangan terlalu percaya diri.” Namun, Alif dengan penuh keyakinan menolak untuk mendengarkan. Dia ingin membuktikan bahwa ia bisa berdiri di atas kakinya sendiri, bahwa dirinya bukanlah anak kampung yang tidak bisa bertahan di kota.

Sekarang, setiap detik di kota ini terasa seperti pengingat betapa salahnya ia telah meremehkan kehidupan di luar desa. Seiring berjalannya waktu, penolakan demi penolakan semakin membuatnya merasa tak berguna, dan keputusannya meninggalkan desa menjadi beban yang semakin berat.

Alif mulai merasakan bahwa dirinya telah terjebak dalam pilihan yang salah. Ia mulai kehilangan kepercayaan diri yang dulu begitu kuat. Dulu, ia yakin bisa mengatasi segala rintangan, namun sekarang? Setelah penolakan berulang kali, perut yang selalu kosong, dan tekanan untuk segera menikah dengan Ba, keyakinannya mulai goyah.

Di malam itu, Alif teringat bagaimana Haji Engkus menasehatinya dengan lembut, namun tegas. “Alif, hidup ini seperti belajar huruf hijaiyah. Alif itu permulaan, tapi untuk sampai ke akhir, kau harus belajar. Tidak semua hal bisa kau pahami sendiri, kau butuh orang lain.” Ucapan itu dulu dianggap Alif sebagai tanda kelemahan. Tapi kini, setelah merasakan kerasnya kota, ia mulai paham bahwa kemandirian yang ia dambakan ternyata penuh dengan tantangan yang jauh lebih berat dari perkiraannya.

Lihat selengkapnya