Jika usahamu
belum membuahkan hasil, ingatlah bahwahasil bukanlah penentu nilai dirimu.
Terkadang keberhasilan terbesar justru
terletak pada keteguhanmu untuk terus melangkah meski dunia seakan tidak
berpihak.
ALIF duduk termenung di pojok ruangan, suasana kontrakan yang pengap semakin memperkuat rasa frustrasinya. Sudah berbulan-bulan sejak mereka tiba di Karawang, namun kehidupan tetap terasa keras dan tak kunjung membaik. Setiap hari, ia menatap botol-botol jamu yang tak terjual, seolah-olah benda-benda itu mencemoohnya, mengingatkan pada kegagalannya. Budi, anak yang mereka selamatkan di desa, terlelap di sudut ruangan dengan wajah polos, tidak menyadari kesulitan yang tengah dihadapi oleh kedua orang yang kini menjadi tumpuannya. Meskipun Budi bukan darah daging mereka, tanggung jawab untuk merawatnya kini ada di tangan Alif dan Ba.
“Ba, aku sudah coba semua,” ucap Alif dengan suara yang hampir tenggelam dalam keheningan ruangan. “Jual jamu, cari kerja, tapi hasilnya selalu nihil. Kita seperti terjebak di sini.”
Ba mengangkat pandangan dari jahitan di tangannya, sorot matanya lelah, namun tegar. “Kamu sudah usaha, Lif, tapi kita butuh lebih dari itu. Kita butuh makanan, butuh uang untuk hidup. Ma'il sudah beberapa kali menawarkan bantuan. Kenapa kamu nggak mau terima saja?”
Alif mengerutkan kening, merasakan amarah perlahan merayap dalam hatinya. “Aku nggak butuh bantuan Ma'il. Aku bisa mengatasi ini sendiri.” Namun, jauh di dalam hatinya, ia tahu ada keraguan besar yang mengintai. Setiap kali ia menolak bantuan Mail, setiap kali ia berkeras bahwa ia bisa mengatasi semuanya, ia hanya mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Karena jika ia mengakui bahwa ia butuh bantuan, berarti ia harus mengakui juga bahwa Haji Engkus mungkin benar—bahwa dirinya belum siap, bahwa keputusannya meninggalkan desa adalah kesalahan. “Aku sudah berusaha. Rezeki pasti tidak akan tertukar. Allah akan selalu memberikan rezeki bagi umat-Nya.”
Ba mendesah, namun kali ini suaranya terdengar lebih tegas dari biasanya, seolah-olah keputusasaannya telah mencapai puncaknya. “Rezeki dari Allah… Hmmmh.” Nada Ba terdengar menyindir sekarang. “Tetap saja harus usaha! Nyatanya kamu belum bisa, Lif. Kita makin terpuruk. Ma'il cuma mau membantu kita bertahan, bukan untuk merendahkanmu.”
Alif berdiri, amarahnya kini tak bisa lagi ditahan. Ucapan Haji Engkus semakin menggaung di telinganya. “Anak lelaki itu harus diajar tegas dalam iman, tidak boleh goyah! Kau ini istri, tugasmu mendukung suami, bukan membantah.” Ada sesuatu yang meledak di dalam dirinya, campuran dari harga diri yang terluka dan rasa takut yang ia sembunyikan.
“Ini soal harga diri, Ba. Aku nggak mau jadi laki-laki yang mengandalkan orang lain. Aku suami, kepala keluarga. Kamu harus hormat, bukan malah menghakimi.”
Kata-kata itu keluar begitu saja, dan saat ia mengucapkannya, ia menyadari bahwa itu adalah hasil dari tekanan yang terus menumpuk. Sejak ia kecil, Haji Engkus selalu menanamkan padanya bahwa seorang pria harus mampu berdiri di atas kaki sendiri. Seorang suami harus bisa menafkahi keluarganya, bukan mengandalkan orang lain. Alif tumbuh dengan keyakinan itu, dan kali ini, ia merasa seluruh ajaran Haji Engkus dipertaruhkan.
Bersama Ba, ia berharap bisa membuktikan bahwa ia bisa menjalani hidup tanpa bayang-bayang ayahnya. Namun, kenyataan di Karawang memukul keras. Alif tak mampu menyediakan kebutuhan dasar bagi keluarganya, dan itu membuatnya merasa gagal sebagai pria, sebagai suami, sebagai kepala keluarga. Setiap kali Mail menawarkan bantuan, Alif melihat bayangan dirinya sendiri sebagai sosok yang lemah, yang tak mampu menghidupi keluarganya sendiri. Ia merasa terhina.
Namun, lebih dari itu, ia merasa ketakutan. Ketakutan bahwa semua yang dikatakan Haji Engkus benar adanya. Bahwa dirinya belum siap. Bahwa Ba adalah keputusan yang salah. Ketakutan itulah yang mendorongnya untuk berkata kasar, untuk menyalahkan Ba, seolah-olah dengan cara itu, ia bisa mengalihkan rasa takut dan cemasnya sendiri.
Ba menatap Alif dengan mata yang sayu, penuh kelelahan, dan luka yang ia coba tahan. “Harga diri? Kamu pikir itu cukup untuk kasih makan kita?”
Alif tercekat, kata-kata Ba menusuknya dalam-dalam. Harga diri adalah satu-satunya hal yang ia miliki saat ini. Satu-satunya yang membuatnya merasa bahwa ia masih bisa berdiri sebagai pria. Namun, saat itu juga, ia menyadari bahwa harga diri yang ia pertahankan dengan keras kepala justru mulai merusak segalanya—pernikahannya, tanggung jawabnya, dan hubungannya dengan Ba.
***
Hari demi hari semakin suram. Alif berjalan mondar-mandir di pasar, menawarkan jamunya kepada pedagang-pedagang yang hanya menggeleng atau menolak dengan kata-kata kasar. Setiap penolakan seperti pukulan yang semakin menghantam harga dirinya. Pekerjaan yang dulu ia kira bisa menjadi tumpuan harapan kini terasa seperti jalan buntu. Tak ada yang memedulikan usahanya, dan semakin hari ia merasa semakin terasing. Di benaknya, terbayang wajah Haji Engkus yang selalu memandang rendah keputusan-keputusannya. Ia teringat lagi ucapan ayahnya sebelum ia pergi dari desa, “Menolong orang lemah tidak berarti menghancurkan diri sendiri.” Kata-kata itu terus bergema di pikirannya, membuatnya merasa seakan setiap langkah yang ia ambil di kota ini adalah kesalahan besar.
Di rumah, suasana pun tak jauh lebih baik. Ba terlihat semakin dekat dengan Ma'il. Alif tahu bukan karena perasaan lain, tapi karena Ma'il sering datang membawa hadiah atau kebutuhan yang mereka butuhkan, seperti beras, susu, bahkan pakaian baru untuk Budi. Setiap kali itu terjadi, Alif merasa semakin kecil, semakin tak berguna. Seharusnya dialah yang menyediakan semua itu, bukan Ma'il.
“Ma'il bilang, mungkin Budi bisa mulai sekolah, Lif,” ujar Ba suatu malam saat Alif baru saja pulang dengan wajah kusam. “Dia bisa bantu biaya dan kepengurusannya.”
Alif mendengus, darahnya mendidih. “Aku nggak butuh bantuan dari Ma'il. Budi anak kita sekarang, aku yang akan cari cara agar dia bisa sekolah. Ma'il hanya ingin mempermalukan kita.”
Di dalam hatinya, Alif tahu betul bahwa ia sedang diliputi rasa takut. Rasa takut bahwa dirinya benar-benar tidak mampu memberikan masa depan yang layak untuk Ba dan Budi. Bahwa ia sudah gagal sebagai suami, gagal sebagai kepala keluarga. Melihat Ma'il mengulurkan bantuan membuatnya merasa seperti penonton dalam hidupnya sendiri—bahwa orang lain yang mengambil alih tanggung jawab yang seharusnya ia pikul. Dan itu menyakitkan. Harga dirinya, satu-satunya yang ia pertahankan sejak meninggalkan desa, terasa semakin terkikis. Ia merasa terjebak dalam lingkaran kekalahan dan keputusasaan.
Ba menatapnya, suaranya lebih tajam dari biasanya. “Ini bukan soal mempermalukan. Budi butuh masa depan, dan kamu masih keras kepala soal ini. Ma'il menawarkan sesuatu yang baik.”
Alif merasa amarahnya mencapai puncak. “Aku tahu apa yang baik untuk Budi. Tapi bukan caranya Ma'il.” Nada suaranya semakin meninggi, bukan hanya karena kemarahan, tapi karena ia merasa terpojok. Di satu sisi, ia ingin menunjukkan bahwa ia bisa menjadi pelindung dan penyedia untuk keluarganya, seperti yang selalu diajarkan oleh ayahnya. Namun di sisi lain, ia merasa bahwa semakin ia berusaha, semakin ia gagal.
Ba menghela napas panjang, suaranya terdengar lelah, namun ada ketegasan di sana. “Hidup bukan soal harga dirimu, Lif. Kamu harus lihat kenyataan, kita nggak bisa terus begini. Apa yang kamu pertahankan?”
Alif terdiam sejenak. Pertanyaan Ba menghantam hatinya, memaksanya menghadapi kenyataan yang selama ini ia hindari. Apa yang sebenarnya ia pertahankan? Harga dirinya? Ego yang selama ini ia bangun untuk membuktikan bahwa ia bisa menjadi suami yang layak? Bahwa ia bisa menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab seperti yang selalu ditekankan Haji Engkus? Tapi, semakin ia mempertahankan harga dirinya, semakin ia merasa kehilangan arah. Seolah, segala yang ia lakukan berakhir pada kegagalan, dan harga dirinya yang ia junjung tinggi hanya membuatnya semakin terpuruk.
Dalam benaknya, Alif merasa terjebak di antara dua pilihan—tetap berpegang pada harga dirinya atau menerima bahwa ia butuh bantuan. Tapi, menerima bantuan dari Ma'il berarti mengakui bahwa dirinya tak cukup, bahwa ia belum bisa menjadi kepala keluarga yang layak. Itu adalah ketakutan terbesarnya, karena mengakui hal itu berarti segala yang ia perjuangkan selama ini adalah kebohongan.
Atau, apa yang sedang dihadapinya ini adalah karena kesalahannya dalam memilih. Kembali lagi ucapan Sarti beberapa waktu lalu mampir ke pikirannya. “Ba bukan gadis yang pantas kamu kejar. Pulanglah, Ang.” Ia mulai meragukan pilihannya pada Ba. Padahal sebelumnya Alif begitu yakin ia ingin menjadi bagian dari hidup Ba, setelah sadar kalau mimpi perempuan yang hinggap di hari-hari setelah salat istikharah untuk Ratna, adalah Ba. Namun, sekarang ucapan Haji Engkus begitu kuat berdebat di hatinya. “Mimpi tidak selalu jawaban, Alif. Istikharah tidak selalu berkaitan dengan mimpi. Petunjuk datang lewat kemudahan. Kamu sudah diberi kemudahan taaruf dengan Neng Ratna. Itu tanda. Jangan ragu, kamu harus segera meminang.”
Apakah ia telah salah memilih?
***
Malam itu, Alif duduk di lantai, bersandar di dinding dengan tatapan kosong. Perutnya terasa perih karena menahan lapar sejak pagi. Mereka hanya punya sedikit beras untuk makan, itu pun habis tadi siang. Sementara, Ba sedang menyuapkan nasi terakhir untuk Budi yang terlelap dalam mimpi. "Kita harus minta bantuan Ma'il, Lif. Kalau tidak, kita nggak akan bisa makan besok."
Alif menggeleng tegas, meski suaranya lemah. “Aku akan cari cara. Aku nggak mau bergantung pada Ma'il. Lebih baik bergantung pada Allah daripada bergantung pada orang lain!”
Di dalam hatinya, Alif berperang dengan perasaan malu dan marah pada dirinya sendiri. Ucapan Haji Engkus kembali lagi hinggap membuat hatinya gusar. “Kau ini anak lelaki satu-satunya di keluarga kita. Warga desa menghormatimu hanya karena kau anak Haji Engkus. Kalau tidak ada nama ayahmu, kau bukan siapa-siapa.”
Dulu, saat ia memutuskan meninggalkan desa dan Haji Engkus, ia melakukannya dengan penuh keyakinan. Ia percaya bahwa ia bisa membuktikan diri, bahwa ia bisa menjadi kepala keluarga yang bertanggung jawab tanpa bayang-bayang nama besar ayahnya. Tapi sekarang, melihat Ba dan Budi di depannya, perasaan itu runtuh sedikit demi sedikit. Kenyataan yang ia hadapi di kota begitu keras, dan ia merasa gagal.
Ia merasa seperti sedang mengkhianati dirinya sendiri. Seharusnya, ia mampu menjaga Ba dan Budi tanpa bantuan orang lain. Tapi kenyataannya, ia tidak punya apa-apa, tidak punya pekerjaan yang bisa ia andalkan, dan bahkan tidak bisa memberi makan keluarganya dengan layak. Setiap kali ia melihat Ma'il datang dengan bantuan, ia merasa harga dirinya hancur. Ma'il yang dari dulu selalu tampak lebih mapan dan punya jalan sendiri, kini terlihat seolah menjadi penyelamat dalam hidup mereka. Hal itu membuatnya merasa semakin kecil dan tidak berguna.
Ba menatapnya tajam. “Kamu pikir harga dirimu lebih penting dari perut kita? Ini bukan soal harga diri, Lif. Ini soal hidup kita yang makin terpuruk.”
Alif menelan ludah, mencoba menahan perasaan tak berdaya yang makin menyelimuti dirinya. “Aku rela meninggalkan desa, rumah, semua yang kumiliki untuk membuktikan diri. Tapi sekarang... apa semua ini sia-sia?” gumamnya lirih, lebih pada dirinya sendiri.
Hatinya teriris mendengar kata-katanya sendiri. Alif sadar, Haji Engkus mungkin benar. Mungkin ia memang belum siap meninggalkan desa, belum siap menjadi kepala keluarga yang bisa diandalkan. Setiap kata yang pernah diucapkan ayahnya kini seperti belati yang menusuknya lebih dalam. “Menolong orang lemah tidak berarti menghancurkan diri sendiri.” Alif mengulang kalimat itu dalam benaknya, semakin menyadari bahwa ia mungkin telah mengambil jalan yang salah. Ia tahu bahwa ia mencoba menjadi pahlawan bagi Ba, tapi ia merasa justru gagal dalam usahanya. Ia tak lebih dari bayangan yang tak mampu memberikan perlindungan.
Ba mendekat, tatapannya sayu tapi tetap tegas. “Aku tahu kamu punya harga diri, Lif. Tapi, apa gunanya kalau kita semua harus menahan lapar? Apa kamu rela melihat Budi kelaparan hanya demi perasaanmu sendiri?”