Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #24

22. Kunci Pembuka Dosa

Hari ini, aku tidak lagi menjadi huruf tegak lurus seperti bentuk huruf hijaiyah pertama. Ismail Mawardi, lelaki itu, menjadi bayangan yang meruntuhkan keberanianku sebagai seorang Alif. Perasaan ini menggelora, tak bisa kubendung lagi. Ba, aku minta maaf karena selama ini aku gagal menjadi suami yang baik untukmu. Semua harapan dan janji yang pernah kuberikan, kini hanya tinggal kata-kata yang hampa. Selamat tinggal, Ba, semoga kamu menemukan kebahagiaan yang aku tak bisa berikan.

Aku menulis ini dengan hati yang terasa kosong, seakan seluruh makna yang pernah ada dalam hidupku menguap begitu saja. Dulu, aku yakin bisa menjadi seseorang yang kuat, seorang pemimpin yang bisa kamu banggakan. Tapi kenyataannya, aku hanya lelaki yang terjebak dalam bayang-bayang masa lalu, bayang-bayang ayahku, dan kini, bayang-bayang Ma'il. Harga diri yang dulu kupikir bisa menjadi tumpuan, ternyata hanya topeng yang selama ini kugunakan untuk menyembunyikan kelemahanku.

Aku selalu mencoba untuk bertahan, mencoba untuk menunjukkan bahwa aku mampu. Tapi semakin aku berusaha, semakin aku sadar, aku hanya berlari dalam lingkaran yang sama—menghindari rasa takut dan rasa malu karena aku tahu, di dalam diriku, ada perasaan bahwa aku tidak pernah cukup. Tidak cukup untukmu, tidak cukup untuk Budi, bahkan tidak cukup untuk diriku sendiri.

Setiap hari, aku melihat diriku kehilangan sedikit demi sedikit keberanian dan harga diri yang dulu kupikir aku miliki. Hingga akhirnya, aku harus mengakui bahwa aku sudah kalah. Aku lelah, Ba. Lelah menjadi seseorang yang terus berusaha bertahan, sementara kenyataan terus-menerus menghantamku dari segala arah. Aku tak ingin menipumu lagi dengan janji-janji yang aku tahu tak bisa kutepati.

Kamu pantas mendapatkan seseorang yang lebih kuat, seseorang yang bisa benar-benar melindungimu tanpa terseret oleh egonya sendiri. Dan aku… aku harus pergi, karena hanya dengan melepaskanmu, mungkin aku bisa belajar menerima bahwa terkadang, menyerah adalah satu-satunya cara untuk bisa menemukan diri sendiri kembali.

Alif

 

MENGAPA Ibu Selalu Diam?

Setelah beberapa saat menghabiskan waktu menyelami buku catatan usang ini, aku masih duduk di kamar, hanya ditemani suara jam dinding yang berdetak, tanganku gemetar memegang catatan lama itu. Catatan yang seharusnya tidak pernah kutemukan. Nama yang tertulis di sana, Alif, membuat hatiku bergemuruh. Ini tidak masuk akal. Catatan itu ditulis pada awal 1978, hanya beberapa bulan sebelum aku lahir. Bagaimana mungkin?

Aku menatap kata-kata itu, mencoba mencerna kenyataan yang selama ini tersembunyi dariku. Alif? Aku selalu percaya bahwa Ayah Ma'il adalah ayahku, sosok yang selama ini membesarku dengan cinta dan perhatian. Namun, mengapa sekarang semua terasa kabur? Bagaimana mungkin ada seseorang bernama Alif yang begitu dekat dengan kelahiranku?

Ibuku, Larasati Banarwari, menyimpan rahasia yang lebih kelam dari yang pernah kubayangkan. Orang tuanya, kakek-nenekku, adalah tahanan politik PKI. Trauma itu—yang selama ini aku pikir hanya bagian dari sejarah kelam bangsa—ternyata juga bagian dari hidupku. Cap PKI yang selalu kutolak, yang kutakuti, kini menjadi bagian dari warisan keluargaku sendiri. Dan yang paling menyakitkan, aku tak pernah tahu.

Lihat selengkapnya