Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #28

26.Melihat Dosa dalam Cermin

HARI itu, Alif dan Ba mengunjungi kelurahan terdekat untuk mendaftarkan pernikahan mereka. Waktu membuat mereka kembali berdamai, meski mereka tampak saling diam memendam kekesalan setelah perdebatan semalam. Gedung kelurahan itu tampak kuno dan sederhana, terselimuti debu dan terik matahari. Di dalam, ruangan pendaftaran dipenuhi meja-meja kayu yang berantakan dengan berkas-berkas, sementara kursi-kursi di sekelilingnya dipenuhi orang-orang yang menunggu dengan wajah penuh harapan dan kecemasan.

Di luar ruangan, suasana tampak kacau. Mereka melihat seorang ibu yang terlihat sangat lelah, memegang bayi yang dibedong di tangannya, sementara tangan kanannya menggandeng dua anak kecil. Ibu itu tampak putus asa, langsung menuju meja petugas tanpa mengantri.

“Pak, saya tidak bisa ikut Santiaji kemarin karena baru melahirkan. Saya mohon kelonggaran untuk sanksi tersebut,” ujar ibu itu dengan suara gemetar.

Petugas di depannya membuka buku besar berjilid kuning dengan kesal. “Dasar coro, sudah untung bisa pulang dari Pulau Buru! Masih saja banyak alasan!”

Alif bergumam, “Coro?”

“Cecunguk dalam bahasa Jawa,” jawab Ba.

Hati Alif bergemuruh mendengar hinaan Petugas itu pada ibu tersebut. Namun, ia hanya bisa menjadi penonton saat itu. Ini bukan desanya. Ia tidak bisa maju membela orang yang tidak dikenalnya.

Mereka kemudian duduk di bangku tunggu, memperhatikan beberapa orang yang sudah mengantri.

“Sanksi tetap sanksi! Mau habis melahirkan atau apa pun itu!” Petugas melirik dua anak kecil ibu tersebut dan berseloroh, “Jangan terlalu banyak enak-enak. Nanti negara yang repot urus tahanan politik seperti kau!” Kepala ibu itu tertunduk, mendengar sindiran tentang jumlah anaknya. “Terima saja sanksinya! Lanjutkan program Santiaji-nya agar kau dan anak-anakmu menjadi Pancasila sejati!”

“Santiaji?” Alif bertanya pada dirinya sendiri.

“Program pemerintah untuk Tapol 65,” ujar seseorang di sampingnya.

“Tapol?” Alif merasa asing dengan istilah tersebut.

“Tahanan politik 65. Orang-orang PKI,” jelas orang itu.

Alif melirik Ba, yang tampak meremas pahanya dengan tatapan kosong.

“Pemerintah nampaknya ingin membentuk Tapol menjadi Pancasila sejati melalui program Santiaji yang berlangsung setiap pekan. Mereka diajarkan materi seperti GBHN, Repelita, dan P4, semua hal yang berkaitan dengan orde baru. Memang pemerintah ini selalu mengkotak-kotakkan rakyat!” ujar pria itu dengan nada penuh keprihatinan.

Tak lama kemudian, ibu itu bersujud di depan petugas, memohon agar sanksinya dicabut. Tangisannya merobek keheningan, menunjukkan betapa dalamnya ketidakberdayaan yang dirasakannya.

Alif merasa hatinya terenyuh. Ia bertanya pada orang di sampingnya, “Mengapa tidak ada kelonggaran untuk ibu itu? Dia baru melahirkan.”

Lihat selengkapnya