Tidak apa-apa merasa tak bisa apa-apa,
karena ketenangan sejati muncul ketika
kita menerima keterbatasan dan mulai
membangun kekuatan dari sana.
SAAT pintu terbuka, yang pertama kali kulihat adalah sosok Om Udi, senyumnya lebar, ceria seperti biasanya.
“Hai gadisku, Ta,” sapanya, suaranya riang mengisi ruangan. Om Udi, yang usianya hanya delapan tahun lebih tua dariku, sering terasa lebih seperti kakak daripada paman. Tapi saat ini, aku tak mampu merespons kehangatan itu. Ketika dia merentangkan tangan, berniat memelukku, aku mundur, menolak sentuhannya. Om Udi tampak bingung, senyumnya memudar sedikit saat dia melihat mataku yang sembab.
Dari belakang, Ibu muncul, wajahnya berkerut, jelas merasa heran kenapa aku bersikap begitu dingin pada Om Udi—orang yang sangat dia sayangi. Ibu diam, matanya berusaha menembus perasaanku, mencari tahu apa yang sedang terjadi. Aku tahu dia merasakan ada sesuatu yang tak biasa.
“Eh, kenapa Ta?” Om Udi bertanya lagi, suaranya penuh perhatian, tapi masih diselingi tawa ringan, seolah berusaha mencairkan suasana yang tak dia pahami. “Kamu habis nangis, ya? Apa karena dikunci sama Ibu?” Dia berkata sambil terkekeh, menganggap itu hanya hal kecil.
Tapi aku tak tersenyum. “Kenapa harus dijemput?” tanyaku, tajam. “Biasanya juga Om datang sendiri. Apa Ibu minta Om datang ke sini buat menghentikan aku ikut orasi?” Aku bicara lebih keras dari yang kumaksudkan, tapi aku tak bisa menahan perasaanku lagi.
Om Udi langsung terdiam. Ibu juga, wajahnya menegang, kaget dengan pertanyaanku yang langsung menohok. Dia menatapku, ada rasa kesal bercampur tak percaya yang terlihat jelas di matanya. Aku tahu, kata-kataku menusuk, tapi aku tidak peduli.
“Ibu cuma khawatir.” Akhirnya Om Udi mencoba menjelaskan, suaranya lebih pelan dan lembut, seolah bicara dengan anak kecil. “Ini soal keselamatanmu, Ta. Kami tidak berniat melarang—”
“Tidak usah cari alasan,” potongku. Aku mengeluarkan buku catatan Alif dari saku jaketku, mengangkatnya tinggi-tinggi di depan mereka. “Aku sudah tahu alasan sebenarnya. Dari sini.”
Mata Om Udi melebar. Ibu terkejut, bibirnya terkatup rapat, tapi aku bisa melihat keterkejutan di wajahnya, meski dia berusaha menyembunyikannya. Mereka tahu apa yang aku maksud dengan buku ini. Semua yang selama ini tersembunyi, sekarang terbuka di hadapan mereka.
***