Masa lalu mungkin meninggalkan luka dalam darahmu, tapi ingatlah: kamu bukan sekadar pewaris trauma, kamu juga pewaris kekuatan untuk menghentikannya.
BA duduk di sudut ruangan, mencoba fokus pada jahitan di tangannya, tapi pikirannya terus berkelana ke masa lalu. Trauma intergenerasional yang berasal dari keluarganya sebagai keturunan PKI selalu membayangi setiap keputusan yang ia buat. Ia ingat dengan jelas bagaimana keluarganya diasingkan, diusir dari desa, dan ditolak oleh masyarakat hanya karena cap yang melekat pada orang tuanya. Rasa takut itu masih ada, meskipun ia berusaha untuk tidak menunjukkannya. Sekarang, saat hidupnya kembali sulit, Ba merasakan ketakutan itu muncul lagi, seolah-olah sejarah sedang mengulang dirinya.
Melihat Budi yang terlelap di sudut ruangan membuat hatinya semakin sesak. Budi adalah cerminan dirinya. Ba mengasihi Budi bukan hanya karena mereka menyelamatkannya, tetapi karena ia memahami betul rasa takut dan pengasingan yang dialami Budi sebagai anak PKI. Ba pernah hidup dalam bayang-bayang itu, dan sekarang ia bertekad untuk melindungi Budi agar tidak mengalami hal yang sama.
“Ba, aku sudah coba semua.” Suara Alif rendah, hampir seperti bisikan. Ba bisa merasakan keputusasaan dalam kata-kata suaminya, tapi rasa lelahnya sendiri juga semakin berat. Mereka sudah berbulan-bulan di Karawang, namun seolah-olah hidup hanya berputar-putar tanpa kemajuan.
Dia mendongak dari jahitannya, menatap Alif sejenak. “Kamu sudah usaha, Lif, tapi kita butuh lebih dari itu. Kita butuh makanan, butuh uang untuk hidup. Ma'il sudah beberapa kali menawarkan bantuan. Kenapa kamu nggak mau terima saja?”
Ba tahu Alif tidak suka jika nama Ma'il disebut. Setiap kali itu terjadi, Alif selalu tersulut, marah karena merasa tersaingi. Namun bagi Ba, yang paling penting sekarang adalah bertahan hidup, bukan soal siapa yang lebih berharga.
“Aku nggak butuh bantuan Ma'il. Aku bisa mengatasi ini sendiri.” Suara Alif mulai meninggi, menandakan amarah yang mendidih di dalam dirinya.
Ba menarik napas panjang, berusaha menahan frustrasinya. “Nyatanya kamu belum bisa, Lif. Kita makin terpuruk. Ma'il cuma mau membantu kita bertahan, bukan untuk merendahkanmu.” Dia tahu ini mungkin tak akan mempan, tapi setidaknya Alif harus mendengar.
Alif berdiri, matanya memicing menatap Ba. “Ini soal harga diri, Ba. Aku nggak mau jadi laki-laki yang mengandalkan orang lain. Aku suami, kepala keluarga. Kamu harus hormat.”
Kata-kata Alif itu membuat hati Ba mencelos. Harga diri? Apa gunanya harga diri jika mereka hampir tidak punya apa-apa untuk dimakan? Apa gunanya harga diri jika itu hanya menambah kesulitan hidup mereka? “Harga diri? Kamu pikir itu cukup untuk kasih makan kita?” tanyanya, nadanya penuh dengan rasa lelah dan kemarahan yang selama ini ia tahan.
***
Setiap kali Alif pulang dengan tangan kosong, Ba merasakan kehampaan yang semakin dalam. Ma'il selalu hadir dengan bantuan, membawa makanan atau kebutuhan, sesuatu yang seharusnya mereka syukuri. Namun, Alif selalu memandangnya dengan curiga, seolah bantuan itu mempermalukan mereka. Tapi apa yang salah dengan bantuan dari seorang teman? Bagi Ba, yang paling penting adalah bertahan hidup—untuk dirinya, untuk Alif, dan terutama untuk Budi.
Malam itu, ketika Alif baru pulang dengan wajah kusut, Ba memutuskan untuk berbicara. “Ma'il bilang, mungkin Budi bisa mulai sekolah, Lif. Dia bisa bantu biaya dan kepengurusannya.”
Alif mendengus, matanya menyala penuh amarah. “Aku nggak butuh bantuan dari Ma'il. Budi anak kita sekarang. Aku yang akan cari cara.”
Ba merasa semakin putus asa. Setiap kali Alif menolak bantuan dari Ma'il, ia merasa seolah mereka semakin tenggelam dalam kesulitan yang tak kunjung usai. Ia bisa merasakan beban di pundaknya semakin berat, seperti ia sedang memikul semua kesulitan seorang diri. Kehidupan yang ia bayangkan bersama Alif, yang awalnya penuh harapan, kini berubah menjadi perjuangan tanpa henti. Setiap penolakan Alif terhadap bantuan hanya menambah jarak di antara mereka, dan Ba merasa semakin sendirian.
Ba mengerti bahwa Alif berusaha mempertahankan harga dirinya, berusaha menjadi kepala keluarga yang kuat, tapi bagi Ba, itu bukanlah yang paling penting. Sejak kecil, ia sudah merasakan bagaimana dunia bisa begitu kejam pada mereka yang tak berdaya. Ia ingat bagaimana keluarganya dijauhi, diasingkan, dan bahkan diusir hanya karena cap sebagai keturunan PKI. Pengalaman itu meninggalkan luka mendalam, dan ia tidak ingin hal yang sama terjadi pada Budi. Ketika ia melihat Budi, ia melihat dirinya yang dulu—terlantar, terpinggirkan, dan tidak memiliki siapa-siapa. Ia tidak ingin Budi harus mengalami trauma yang sama, tidak ingin Budi tumbuh dengan perasaan bahwa ia harus selalu bersembunyi atau merasa kurang layak.