Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #29

27.Mesin Penyesalan

MALAM itu, Alif tidak langsung tidur di tikar bolongnya yang dingin dan kasar. Ia duduk di pojok kontrakan, memandang botol-botol jamu yang tersisa dengan rasa putus asa. Dalam kegelapan, di bawah sinar bulan yang pudar, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya—sebuah cincin emas.

Cincin itu berkilau lembut meski dalam cahaya yang minim. Alif memegangnya dengan lembut, dan sejenak, pikirannya melayang kembali ke saat-saat terakhir sebelum ia meninggalkan rumah.

Saat itu, ia melangkah dengan hati yang berat. Jalan setapak yang ia telusuri dipenuhi oleh daun-daun yang berserakan, setiap jejak langkahnya seperti menggema dengan kenangan masa lalu. Bau tanah lembap dan udara malam yang sejuk membungkusnya, sedangkan suara burung malam dan bisikan angin terasa seperti gemuruh kegundahan di hatinya.

Tiba-tiba, teriakan memecah malam. "Alif, tunggu!" Suara itu adalah milik Siti, ibunya. Ia berlari dengan roknya yang melambai-lambai, wajahnya basah oleh air mata. Langkah kaki Siti, yang bergetar di tanah, dan napasnya yang tersengal-sengal mencerminkan betapa beratnya momen itu.

Alif berbalik, melihat Siti mendekat dengan wajah penuh kepedihan. "Pulanglah, Nak!" Siti memohon, suaranya bergetar penuh emosi. Air matanya mengalir deras, membasahi pipi dan menyatu dengan tanah yang lembap di bawahnya. Setiap tangisan Siti menyentuh hati Alif, membuatnya merasa seolah seluruh dunia sedang berusaha menahannya.

Alif menatap ibunya dengan mata yang mencoba menahan tangis. “Maaf, Mak. Alif harus pergi demi kebaikan semua orang.” Suaranya rendah, penuh dengan kesedihan dan tekad. Ia merasakan seolah seluruh tubuhnya terikat oleh cinta dan rasa bersalah yang mendalam.

Siti meraih tangan Alif dengan genggaman yang penuh harapan. “Maafkan, Alif, Mak!” Suaranya hampir tidak terdengar, tertekan oleh tangis yang tidak bisa dihentikan. Dengan gemetar, ia membuka telapak tangan Alif dan meletakkan sesuatu di sana.

Ketika Alif membuka telapak tangannya, dia melihat sebuah cincin emas dan kalung yang bercahaya lembut. Cincin itu bersinar dalam cahaya bulan yang redup, sementara kalungnya memantulkan kilau kecil yang membuat Alif tertegun.

“Tidak, Mak! Alif tidak bisa menerimanya!” Alif berusaha mengembalikan perhiasan itu, tetapi Siti tetap menggenggam tangan Alif dengan penuh keputusasaan.

“Terimalah. Kamu pasti akan membutuhkannya!” Suaranya penuh dengan kesungguhan dan cinta yang tulus. Dalam genggaman Siti, perhiasan itu terasa seolah-olah adalah bagian dari dirinya yang dikorbankan untuk anaknya.

Lihat selengkapnya