Kamu tak bisa mengendalikan siapa yang pergi, tapi kamu bisa memilih bagaimana
kamu berjalan, karena cinta sejati adalah
yang tumbuh dalam dirimu, bukan yang
kamu kejar.
HARI ITU, langit Desa Buniseuri tampak kelabu. Ba duduk di bangku belakang mobil pickup tua milik Pa’le Tori, menggenggam tangan Budi yang meringkuk di sisinya. Perjalanan yang sunyi membuat hatinya terasa semakin berat. Ia berharap Alif kembali ke desanya, tempat ia selalu kembali, di mana segala rasa sakit akan terobati oleh tanah yang sudah menjadi bagian dari hidupnya. Dalam hati, Ba berusaha menguatkan diri. Ia datang untuk memperbaiki semuanya, untuk menebus kesalahan yang telah ia perbuat.
Buku catatan yang Alif tinggalkan di kontrakan membuat Ba akhirnya mengerti. Ia membaca setiap kata dengan rasa sesal yang begitu dalam. Alif menolak bantuan Ma’il karena ia ingin merasa berguna, ingin membuktikan bahwa ia mampu menjadi suami yang bisa diandalkan. Ba melihat betapa kerasnya Alif berusaha mempertahankan harga dirinya, dan sekarang ia sadar, mungkin selama ini ia yang terlalu menekan Alif, terlalu egois. Teringat bagaimana Alif selalu berkata bahwa mereka bisa menghadapi segalanya bersama, Ba merasa hatinya dipenuhi luka yang baru. Kenapa ia tidak pernah melihat sisi itu sebelumnya?
Saat mobil berhenti di depan rumah Haji Engkus, Ba merasa jantungnya berdegup kencang. Ia turun dengan langkah pelan, sementara Ma’il dan Pa’le Tori menemaninya di belakang. Rumah itu masih sama—atap genteng merah dan dinding bambu yang kusam. Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Dalam hati, ia berdoa agar Alif benar-benar ada di dalam. Tapi begitu pintu dibuka dan Haji Engkus keluar, tatapan dingin langsung menyambutnya.
“Ba? Kenapa kau di sini?” Haji Engkus memicingkan matanya, terkejut.
Ba menelan ludah, suaranya bergetar. “Saya... saya datang mencari Alif, Pak Haji. Dia... dia tidak kembali ke kontrakan kami.”
Wajah Haji Engkus seketika berubah, dari kaget menjadi gelap. “Apa maksudmu? Bukankah dia pergi bersamamu?” Terdengar nada penuh kecurigaan di suaranya.
Ba menggeleng, berusaha menjelaskan dengan cepat. “Kami... bertengkar. Alif meninggalkan saya. Saya pikir... mungkin dia kembali ke sini.”
Siti yang mendengar pembicaraan dari dalam rumah, muncul dengan wajah penuh amarah. Ia melangkah maju, tapi tangannya ditahan oleh Aminah. “Kau masih berani kembali ke sini, setelah apa yang kau lakukan pada anakku?” Suaranya nyaring, mengguncang hati Ba. “Kau pikir kami akan menyambutmu?”
Ba menunduk, mencoba menahan air matanya. “Saya hanya ingin tahu, Bu. Saya khawatir...”
“Khawatir?” Siti mencemooh, suaranya bergetar. “Anakku pergi untukmu, meninggalkan kami semua, dan sekarang dia hilang, dan kau datang ke sini dengan pura-pura khawatir?”
Haji Engkus melangkah maju, menunjuk-nunjuk wajah Ba dengan tatapan penuh kebencian. “Kau perempuan yang menghancurkan hidup anakku! Alif punya masa depan di sini, dia punya keluarga, tapi semua hancur karena kau!”