Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #30

28.Harga Terpendam Dosa

ALIF pulang ke rumah dengan hati bergetar, mengandalkan harapan terakhir dari barang berharga yang telah dijual. Sebelum tiba di rumah, ia singgah di warung nasi Mbok Darmi, sebuah tempat yang dipenuhi dengan aroma menggugah selera. Begitu melangkah masuk, udara hangat dipenuhi wangi bumbu rempah yang memikat. Dari dapur, suara panci yang berisi sayur-sayuran mendidih mengiringi setiap gerakan. Warna-warni sayur mayur yang tersaji di etalase membuat suasana semakin meriah, mengundang selera dengan kilaunya yang segar. Alif memilih makanan dengan penuh perhatian, membungkus pepes ayam dan nasi dengan hati-hati, membayangkan kebahagiaan yang akan tergambar di wajah Ba dan Budi saat melihat kejutan yang telah disiapkannya.

Setelah keluar dari warung, langkah Alif terasa ringan. Dalam benaknya, ia membayangkan ekspresi ceria Ba dan Budi, membuat hari ini terasa seperti hari yang istimewa. Namun, sesampainya di kontrakan, ia dikejutkan oleh pemandangan yang tak terduga: sepatu mengkilap berserakan di depan pintu, sementara tawa ceria Ba dan Budi mengalir keluar dari dalam rumah.

Assalamualaikum,” sapa Alif, suaranya berusaha terdengar hangat di tengah keheranan.

Waalaikumsalam,” jawab suara lelaki asing yang penuh nada ramah namun dingin di telinga Alif, membuat hatinya bergetar cemburu.

Alif melangkah masuk, dan pandangannya langsung tertuju pada sosok lelaki tinggi di ruang tamu. Lelaki itu mengenakan jas biru tua yang rapi, rambutnya tertata rapi, dan kacamata yang menambah kesan intelektual. Gigi tonggosnya tampak jelas di balik senyumnya yang menawan, sementara wangi parfum yang samar menempel kuat di udara. Melihat Ba yang berseri-seri di samping lelaki itu, jantung Alif berdebar hebat.

Ba segera menyuruh Alif masuk. “Ang, ayo masuk! Aku kenalkan teman baikku! Secara nama kau sudah pasti kenal,” ujar Ba, memberi petunjuk tentang identitas lelaki tersebut.

Lelaki itu berdiri dan menyambut Alif dengan jabat tangan yang kuat dan tegas. “Ismail Mawardi,” ujarnya dengan senyum ramah. “Laras memanggilku Mail Tonggos.” Alif menghela napas panjang, mencoba menenangkan getaran cemburu yang menghantui dirinya. Jabat tangan yang kuat dan tatapan mata Ba yang berbinar membuat dada Alif terasa terbakar. Dengan susah payah, ia melepaskan genggaman tangan, berusaha menenangkan perasaannya.

“Ba, aku bawa sesuatu untukmu dan Budi,” kata Alif, sedikit bergetar. Budi, melihat kantong plastik yang dipegang Alif, langsung bersorak. “Hore! Apa itu, Ang?”

Dengan penuh antusiasme, Alif mengeluarkan makanan dari kantong. “Pepes ayam Mbok Darmi!” ujarnya ceria.

Namun, ekspresi Budi tidak sesuai harapan. Wajahnya datar, meringis sambil mengusap perut. “Aku sudah kenyang, Ang. Tadi aku dan Ba dibawa Mas Mail keliling Karawang menggunakan mobilnya. Terus kami dibawa ke warung nasi yang lebih komplit dari warung nasi Mbok Darmi. Ini kami baru pulang,” jelas Budi polos.

Ba meraih tas makanan dari tangan Alif. “Tidak apa-apa. Kita simpan dulu atau jadikan makanan buat besok pagi,” katanya dengan nada menenangkan.

Lihat selengkapnya