Kamu tidak
bisa memilih dari mana asalmu, tapi kamu bisa memilih siapa dirimu sekarang.
“IBU... positif hamil.” Suaranya pelan, hampir berbisik. “Saat Alif pergi, aku tidak tahu... ternyata aku sudah mengandung.”
Kata-kata itu jatuh seperti petir di dadaku. Dunia yang selama ini kukira sempurna dan teratur mendadak berantakan. Semua yang aku banggakan tentang keluargaku—Ayah Mail yang selalu kuanggap pahlawan, Ibu yang kuat dan selalu mampu menghadapi apa pun—semuanya seakan berubah menjadi bayangan kosong. Rasanya seperti aku sedang berdiri di tepi jurang, siap terjatuh.
Perutku tiba-tiba terasa berat, seolah ada sesuatu yang menekan keras, menahanku dari dalam. Aku mencoba mengendalikan napas, tapi udara terasa tipis, menyesakkan. Alif. Nama itu bergema di kepalaku, seakan memaksa setiap ingatan dan cerita yang pernah aku dengar menyatu dalam gambaran yang tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Ayah Mail... Ibu... semua yang aku tahu tentang mereka mulai runtuh di depanku.
Selama ini aku hidup dalam bayangan bahwa keluargaku adalah tempat teraman, tempat yang tidak pernah menyembunyikan apa pun dariku. Tapi sekarang, setiap keping kebenaran yang terungkap dari buku catatan itu seolah menamparku berulang kali. Bagaimana mungkin sesuatu yang begitu penting disembunyikan selama ini? Kenapa semuanya begitu berbeda dari yang aku yakini?
Air mata mulai menggenang di mataku, tapi aku menahannya, mencoba untuk tetap tegar meski rasanya seluruh tubuhku gemetar. “Jadi... jadi aku ini anak siapa, Bu?” tanyaku, suaraku nyaris pecah. Pertanyaan itu keluar dengan rasa takut yang tidak pernah kurasakan sebelumnya—takut mendengar jawaban yang bisa mengubah segalanya.
Wajah Ibu mengeras, dan aku bisa melihat air mata mulai mengalir di pipinya. Ia terdiam, seolah kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan. Aku tahu, ini bukanlah pertanyaan yang mudah, tapi aku butuh jawaban. Aku harus tahu, atau aku akan terus tersesat dalam kegelapan ini.
Om Udi menatapku, matanya penuh dengan kesedihan dan kelelahan. “Ta, ini semua... tidak sesederhana itu,” katanya pelan, dan aku merasakan bebannya seolah ikut terjatuh ke dalam diriku. “Ada banyak hal yang kamu belum tahu.”
Dadaku terasa semakin sesak. Rasanya seolah seluruh ruangan ini menyusut, mendorongku ke sudut tanpa jalan keluar. “Aku mau tahu, Om. Aku berhak tahu,” jawabku, meskipun suaraku bergetar. Tanganku mencengkeram lututku, berusaha menahan gemetar yang tak tertahankan. Aku tahu, apa pun yang akan mereka katakan, tidak ada jalan kembali.
Ibu mengangkat pandangannya, dan aku bisa melihat luka yang terpendam di matanya. “Ta... tolong dengarkan Ibu baik-baik. Setelah Alif pergi, Ibu terpaksa bertahan sendirian.” Suaranya bergetar, dan aku merasakan semua kesakitan itu, seakan ia membawaku kembali ke masa-masa terberat dalam hidupnya.
Om Udi mengangguk pelan, seolah memberinya kekuatan untuk melanjutkan. Setiap detik yang berlalu terasa semakin berat, seakan segala keyakinan yang selama ini kupeluk erat, perlahan-lahan memudar. Ibu menarik napas panjang, mencoba menenangkan getaran di suaranya. “Izinkan Ibu bercerita semuanya, Ta, agar kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Ibu terisak begitu dalam. “Ada dosa-dosa yang tak pernah kita buat, tapi tetap kita tanggung. Kadang hidup hanya meminta kita diam dan berjalan, meski beban itu bukan milik kita.”
***
Ba mencoba bangkit, mencoba menerima kenyataan bahwa Alif mungkin tidak akan pernah kembali. Namun, setiap malam, saat berbaring di ranjang kontrakan yang sepi, bayangan Alif selalu menghantuinya. Ia masih menunggu, berharap pintu kontrakan akan terbuka dan Alif muncul, menyambutnya dengan senyum hangat yang dulu ia kenal. Tapi, setiap hari yang berlalu, harapan itu perlahan memudar. Semakin hari, semakin kecil kemungkinan Alif akan kembali. Setiap detik tanpa kabar membuat luka di hatinya semakin dalam.
Ba tenggelam dalam kesibukannya, menjahit hingga larut malam, berusaha menenggelamkan pikiran tentang Alif. Namun, perut yang semakin membesar tidak bisa disangkal. Ada kehidupan yang tumbuh di dalam dirinya, dan meskipun kehadiran Budi dan perhatian Pa’le Tori serta Ma’il selalu ada, ia merasa kosong tanpa kehadiran Alif di sisinya. Ia selalu bertanya-tanya, “Apakah Alif tahu aku mengandung? Apa dia akan kembali kalau tahu?”