Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #32

30.Hari Bahagia dari Seorang Pendosa

HARI yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Alif berdiri di depan kontrakan sempit yang berdempetan, merasakan campur aduk antara deg-degan dan antusiasme. Lingkungan sekelilingnya, yang terasa semakin menyempit, seolah memperburuk kegelisahannya. Dinding-dinding kontrakan yang rapat menekan dari segala sisi, menambah intensitas ketidaknyamanan yang dirasakannya. Aroma asap rokok dari kontrakan tetangga menyusup hidungnya, menciptakan sensasi yang menggelisahkan. Langit pagi yang mendung menggantung rendah di atas kepala, mencerminkan suasana hati Alif yang murung dan suram.

Saat seorang pria bersiap memasuki babak baru dalam hidupnya, banyak kekhawatiran yang membayangi pikirannya. Alif, seperti banyak pria lainnya, merasakan beban tanggung jawab yang besar. Ada ketakutan yang mendalam tentang bagaimana dia akan memenuhi ekspektasi, baik dari dirinya sendiri maupun dari keluarga dan masyarakat. Dia memikirkan beban tanggung jawab yang akan diembannya sebagai suami, bagaimana dia akan menjaga kebahagiaan pasangan dan memenuhi janji-janji sosial serta keluarga. Di satu sisi, dia merasakan debaran antisipasi yang tak tertahan, bertanya-tanya apakah dia benar-benar siap menghadapi perubahan besar ini. Ketidakpastian mengenai perannya yang baru menambah berat beban emosionalnya.

Kehidupan di Karawang, yang jauh dari kampung halaman, menyisakan rasa pahit dalam hati Alif. Dia teringat pada sosok-sosok yang sangat berarti dalam hidupnya: Haji Engkus, ayahnya yang penuh kebijaksanaan; Siti, ibunya yang lembut namun tegas; dan Aminah, adiknya yang selalu ceria. Dulu, Alif memimpikan hari bahagianya dirayakan dengan penuh sukacita bersama keluarga. Siti pernah berkata bahwa saat dia menikah, akan ada wayang besar sebagai perayaan. Namun, kenyataan tidak seindah yang dibayangkan. Kini, ia berdiri sendiri di tengah gempuran kesulitan hidup di Karawang, jauh dari orang-orang tercintanya.

Matanya terasa berkaca-kaca, dan rasa haru menggelora di dadanya.

“Seandainya saja Emak, Abah, dan Aminah ada di sini menjadi saksi pernikahanku.”

Dengan cermat, ia menyusut air mata yang hampir menetes dengan kemeja yang ia miliki satu-satunya. Penuh sesal, Alif merenungkan betapa beratnya menerima kenyataan bahwa ia akan menjalani hari bahagianya tanpa kehadiran keluarga tercinta. Di saat yang sama, perasaan kesepian yang mendalam menyelimuti dirinya, seolah menghisap setiap kebahagiaan yang tersisa.

Tiba-tiba, teriakan Budi memecah keheningan. "Ang! Ayo cepat!"

Alif bingung. "Kenapa kau sendirian? Mana Ba?" tanyanya, matanya mencari sosok yang sangat dinantikannya.

Budi menarik napas dalam-dalam. "Si Teteh sudah ada di masjid bersama keluarga Mas Mail. Si Teteh cantik sekali, lho! Ibunya Mas Mail yang mendadaninya."

“Mail?!”

Mendengar nama Mail disebut lagi, Alif merasakan kegundahan yang mulai menjalar. Kelembutan suara Budi, yang penuh pujian untuk Ba, seolah menggaruk luka yang belum sembuh. Dalam benaknya, Alif bertanya-tanya tentang keberadaan Mail di hari bahagianya. Kemunculan nama Mail menambah beban emosinya, menimbulkan rasa cemburu yang sulit dikendalikan. Perasaan seperti api yang terus membakar, menyulut kemarahan dan kesedihan yang bercampur menjadi satu.

Dalam kedalaman hatinya, Alif merasakan ketidakadilan yang mendalam. Ia merasa sendirian di tengah hari bahagianya, setelah mengorbankan kehadiran orangtua demi Ba, dan kini merasa Ba mencari dukungan dari keluarga lain. Seharusnya, dunia Ba hanya miliknya—bukan Mail atau bahkan Budi. Rasa itu menusuk seperti pisau, menggoyahkan keyakinan Alif bahwa hari ini seharusnya milik mereka berdua. Kebahagiaan yang diharapkan kini terasa kabur, tertutup oleh kesedihan dan kemarahan yang bercampur aduk.

Budi, yang tampaknya merasakan ketegangan Alif, menatapnya dengan penuh pengertian. "Ayo, cepat! Teteh dan penghulu sudah menunggu di masjid. Ini hari istimewamu, Ang! Jangan sampai terlambat!"

Alif menatap Budi dengan mata yang penuh ketegangan, namun kemudian menundukkan kepalanya. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya di tengah gejolak emosinya. Hari yang sudah lama dinantikannya harus dia jalani dengan penuh kebahagiaan, bukan dengan kemarahan yang membakar hatinya.

Dengan langkah berat namun penuh tekad, Alif mengikuti Budi menuju masjid, membiarkan semua kekhawatiran dan amarahnya tenggelam dalam kerinduan akan hari bahagianya bersama Ba.

*** 

Masjid itu tampak sederhana di mata Alif—dindingnya yang pudar dan pintu kayu tua mencerminkan usia dan kekurangan. Dari luar, tidak ada tanda-tanda kemegahan. Aroma kayu cendana yang menyerap dari pelaksanaan ibadah berbaur dengan udara dingin pagi. Langkah Alif terasa berat, seolah tanah di bawah kakinya berubah menjadi lumpur kental. Meskipun Budi menarik tangannya dengan penuh semangat, Alif bergerak lambat, tertekan oleh perasaan ragu dan tidak layak.

Lihat selengkapnya