Masa lalu orang tuamu adalah bagian dari perjalanan mereka, bukan takdirmu,
sehingga kamu bisa bebas memilih
jalanmu sendiri dan tidak harus terikat
pada yang sudah terjadi.
“JA-JADI aku…” Suaraku terputus, tenggorokanku tercekat. “Anaknya Alif?”
Kekosongan itu seperti lubang hitam yang menyedot semua keyakinan dan kebahagiaanku. Dunia yang kukenal hancur dalam sekejap. Saat Ibu mengangguk, seolah-olah segalanya pecah menjadi serpihan kecil yang melayang tanpa arah, dan aku terjebak di tengah kekacauan itu. Tangis Ibu menggema di ruangan, memenuhi setiap sudut dengan kesedihan yang menyesakkan. Tangannya yang gemetar menggenggam lengan kursi, mencoba menahan beban yang begitu berat.
Om Udi berdiri di sampingnya, ekspresinya penuh kesedihan. “Ya, betul. Kamu anaknya Ang Alif, Ta,” ucapnya, suaranya serak dan berat, seolah menanggung beban yang tak terucapkan.
Aku terdiam, seakan terjebak dalam kehampaan. Di dalam kepalaku, bayangan Ayah Mail dan kenangan bersamanya berputar cepat. Setiap pelukan hangat, setiap kata bijak yang ia ucapkan, kini terasa seperti bayangan yang tak lagi nyata. Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa orang yang kucintai sebagai ayah ternyata bukan ayah kandungku?
Aku teringat bagaimana aku berdiri di depan ribuan orang saat orasi 98, mengangkat suara untuk melawan ketidakadilan. Wajah Ayah Mail selalu ada di pikiranku; aku berjuang demi dia, demi orang-orang seperti dia yang ditindas oleh rezim yang tidak adil. Setiap teriakan yang keluar dari mulutku, setiap kata yang kukatakan dengan penuh semangat, semuanya terasa benar saat itu—karena aku percaya pada nilai-nilai yang dipegang Ayah Mail. Aku yakin bahwa perjuangan ini adalah sesuatu yang benar dan besar.
Namun sekarang, setelah mendengar penderitaan Ibu dan Budi karena cap PKI yang mereka tanggung, aku merasa dikhianati oleh kenyataan. Rezim yang aku bela, yang aku dukung, ternyata juga adalah rezim yang telah menyakiti keluargaku sendiri. Rasanya seperti tamparan keras yang membangkitkan amarah yang selama ini tak pernah kurasakan. Segala yang kuanggap benar kini terasa seperti kebohongan besar.
Aku tahu, aku dilahirkan untuk sesuatu yang besar. Kata-kata itu selalu terngiang di kepalaku, ucapan Ibu yang diwariskan dari Pa’e. “Kamu terlahir dari sesuatu yang besar, Ta.” Begitu katanya setiap kali aku merasa kehilangan arah. Dan kini, aku yakin, aku harus berjuang, tapi dengan cara yang berbeda. Bukan hanya untuk diriku sendiri, tapi untuk keluargaku, untuk mereka yang selama ini menderita karena ketidakadilan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Aku tidak bisa hanya duduk di sini, meratapi nasib. Aku harus melawan.
Aku meraih rambut sebahuku yang diikat, menariknya ke belakang dan mengikatnya lebih erat. Sering kali, ini membuatku merasa lebih fokus. Gusar, aku menggigit permen karet di mulutku, mencoba meredakan kekacauan pikiran yang memenuhi kepalaku. Permen karet itu terasa hambar, tapi aku terus mengunyah, merasakan ketegangan yang memuncak di setiap tarikan napas.
Dengan derai air mata, Ibu mencoba bicara. “Saat kamu lahir, rasa putus asa sempat menghampiri. Bagaimana hidup anakku tanpa ayahnya? Kenapa hidup tak pernah berpihak kepadaku?” Tanya Ibu membuat perih di hatiku membuncah menderaskan air mata yang luruh. “Namun, Ibu selalu ingat kata-kata Pa’e. Hidup bukan soal ada yang jahat atau nggak. Yang penting, kita tahu cara melangkah di kegelapan,” ucapnya. Dia berhenti sejenak dan menatapku. “Seperti huruf alif, katanya, yang berdiri tegak. Meski sendirian, dia tetap kuat. Kita harus bisa berdiri sendiri, bahkan ketika jalannya tidak terlihat.”
Om Udi terlihat mengusap lembut punggung Ibu untuk menguatkan sedangkan aku sendiri berusaha kuat meskipun luluh lantak. “Ad maiora natus sum. Ibu selalu ucapkan itu kepadamu, kan, Ta? Karena apa? Karena Ibu sangat percaya kamu memang lahir untuk hal-hal besar. Itu juga yang membuat Ibu semangat untuk melanjutkan hidup.” Ibu tampak menarik napas panjang hingga kedua matanya menatap pada foto Ayah Ma’il yang tergantung di dinding. “Ketika kamu berusia dua tahun, karena kedekatanmu dengan Ayah Ma’il yang selama Alif pergi ia yang mengurus kita, kata Ayah pertama kamu ucapkan pada Ayah Ma’il. Dan, itu membuat Ayah Ma’il semakin sayang kepadamu. Oleh karena itu, kami memutuskan untuk menikah. Bukan karena Ayah Ma’il ingin menggantikan Alif, tetapi murni karena rasa cintanya padamu, Ta, anak yang sudah diadzaninya dan disayanginya layaknya anak perempuannya.”
Tanpa ragu, aku berdiri dari kursiku, meraih catatan usang yang tergeletak di meja, jaket, dan kunci motor si Ireng. Kugenggam erat catatan itu, seolah-olah di dalamnya ada kebenaran yang belum sepenuhnya kutemukan. Jaket kusam itu kubungkuskan di tubuhku, dan kunci motor itu kubawa ke genggaman, merasakan getaran di dadaku—perasaan campuran antara kemarahan dan tekad yang tak terbendung.
Om Udi memanggil, suaranya penuh kekhawatiran, “Ta, mau ke mana kamu?” Ibu menatapku dengan tatapan penuh kesedihan, air matanya masih mengalir. “Ta, jangan pergi….” Suaranya bergetar, pecah di tengah kesedihan yang mendalam. Tapi aku tak bisa tinggal, tak bisa lagi berdiam diri setelah tahu kenyataan ini.
Aku melangkah keluar, menutup pintu dengan cepat, dan menghidupkan mesin motorku, si Ireng. Deru mesinnya memenuhi keheningan malam, menyelimuti semua ragu yang masih tersisa. Angin malam menyapu wajahku, membuatku sadar bahwa ini bukan saatnya untuk mundur atau menoleh ke belakang.
Aku menarik napas dalam-dalam, menatap jalanan yang membentang di depanku. “Ibu selalu bilang, aku dilahirkan untuk hal besar,” gumamku pada diriku sendiri, mencoba mengingat nasihat yang diwariskan dari Pa’e melalui Ibu. Aku menggenggam stang motor erat-erat. “Dan sekarang, aku akan menemukan apa itu. Apa pun yang terjadi.”
Aku memacu motorku, membiarkan angin malam menyapu semua keraguan. Setiap hembusan angin dan deru mesin adalah pengingat bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Aku tak tahu apa yang akan kutemui, tapi yang jelas, aku tidak akan berhenti. Aku akan mencari, bertarung, dan menemukan jawabannya.
Aku akan melawan, bukan hanya demi diriku sendiri, tapi demi Ibu, demi Ayah Mail, dan demi setiap orang yang pernah merasakan ketidakadilan seperti keluargaku. Ini adalah takdir yang harus kutemui. Dan malam ini, aku memulainya.
***
Kerusuhan di Universitas Trisakti seperti neraka yang meledak tanpa ampun. Lautan manusia berdesak-desakan, bergerak seperti gelombang liar dalam senja yang berubah gelap. Asap hitam tebal membubung, menutupi langit dengan kabut pekat yang menyengat tenggorokan dan membuat mataku perih. Bunyi ledakan dan teriakan bercampur, menjadi simfoni kekacauan yang memekakkan. Kendaraan-kendaraan yang terbakar menyemburkan api besar, menyulut kemarahan yang membara di sekelilingku.
Aku terseret di tengah kerumunan, dadaku sesak, napasku tertahan. "Mana Asti! Lihat Arlan!” Aku berteriak sekuat tenaga, tapi suaraku tenggelam di antara orasi yang menggema dari microphone, nyaris tak terdengar. Para pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan:
“Rezim yang zalim harus turun sekarang!” “Rakyat butuh keadilan, bukan kebohongan!” “Sudah cukup penderitaan kami, ayo bangkit!” “Jangan biarkan korupsi terus menghisap darah rakyat!” “Berhenti menindas, mulai dengarkan kami!”
Keringat dingin mengalir di punggungku. Rasa amarah menguasai, membakar setiap helaian napas. Dunia ini terasa begitu tidak adil—rezim yang terus menindas, meremukkan kehidupan orang-orang yang kucintai. Ibu, Om Udi, dan Alif, semua terjebak dalam bayangan dosa turunan yang tak pernah kami buat.
Aku berdiri di tengah massa, berusaha menenangkan diri, tapi dadaku terasa seperti akan meledak. Aku tahu desa itu—Buniseuri. Ada di Ciamis, dan aku tahu seumur hidupku Ibu melarangku ke sana. Sekarang aku mengerti. Mungkin karena aku memang berasal dari sana, tempat di mana sejarah kelam keluarga kami bermula. Tapi mengapa? Apa yang disembunyikan Ibu? Mengapa ketika ia mencari, mereka bilang Alif tidak ada?
Kepalaku semakin sesak. Aku harus cari tahu sendiri. Meski aku belum pernah ke Ciamis, aku tak peduli. Aku akan temukan jawabannya, apapun yang terjadi.
Sambil mengunyah permen karet, aku melihat Arlan berdiri di atas panggung, memegang microphone, memimpin orasi. Suaranya membelah udara yang panas. Aku melangkah cepat, menabrak tubuh-tubuh yang berdesakan di sekitarku, menuju ke arahnya. Setiap langkah serasa lebih berat, tapi aku tahu, aku harus bertanya.
“Arlan!” teriakku, melambai di tengah kerumunan.
Arlan melihatku, lalu turun dari panggung. Matanya cemas. “Ta, kenapa baru muncul sekarang? Apa yang terjadi?”