Diamlah sejenak
—Kritik dalam pikiranmu bukanlah
kebenaran, dan bukan berarti kamu harus mempercayainya.
MALAM mulai merayap saat Arlan menghentikan motor di depan sebuah rumah gubuk sederhana. Aku melepaskan helm dan menghirup udara malam yang segar, berbeda jauh dari polusi Jakarta. Pepohonan rindang berkerok di sekitar, menyebarkan aroma tanah basah dan bunga melati. Kolam ikan di samping rumah memantulkan cahaya bulan, menambah kesan damai dan sejuk.
Keringat dingin membasahi pelipisku setelah perjalanan berkilometer dengan jalan terjal yang belum diaspal. Jalanan berbatu dan berliku-liku membuat setiap detik terasa lebih melelahkan. Meski begitu, rasa capekku terbayar saat melihat rumah ini.
Arlan sudah berdiri di samping motornya, helm tergantung di tangan. Wajahnya berseri, menunjukkan ekspresi jenaka namun penuh kerinduan. “Ayo, masuk!“
“Ini rumah siapa?“ tanyaku sambil menatap gubuk yang tampak seperti oasis di tengah kelelahan.
“Kamu ingin bertemu Ta atau orangtuaku?“ seloroh Arlan, matanya bersinar dengan gurauan.
Aku mulai melangkah, dikelilingi kucing-kucing yang mengeong lembut dan berkeliaran di sekitar. Aku harus berhati-hati agar tidak menginjak salah satu dari mereka. “Astaga, kok banyak kucing!“ keluhku, sedikit terganggu dengan kehadiran mereka. “Apa kucing ini bernama Memeng?” Aku menatap salah satu kucing yang ada si itu sambil teringat dengan cerita Alif dalam catatannya. “Atau, Mumun?”
Arlan hanya mengernyitkan dahi mencoba mengerti apa yang aku ucapkan hingga terdengar suara dari arah depan.
“Maaf. Di sini memang banyak kucing!”
Seorang pemuda, tampaknya seusia anak SMA, berdiri di hadapan kami mengenakan celana abu-abu. Kaki telanjangnya terlihat kotor, dan bau tanah yang menempel pada celananya menyentuh hidungku. Dia menatapku dengan bingung. “Hei, bro! Ta!“ Arlan langsung memeluk pemuda itu, menunjukkan kedekatannya.
“Ta?” tanyaku, menatap pemuda itu dengan rasa ingin tahu.
Sambil merangkul pemuda tersebut, Arlan berkata, “Iya, ini Ta.”
“Cowok?” Aku kaget.
“Nama Ta harus cewek?” cetus Ta cowok di hadapanku. “Bro, pacar?” tanya Ta cowok pada Arlan.
“Ingat nggak, waktu kamu bilang kalau di dunia ini cuma ada dua Ta?” Ta cowok tampak mengerutkan dahinya menatap Arlan. “Ya, ini! Ta lain itu!” ujar Arlan sambil menunjukku dengan kedua tangannya.