Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #33

31.Hari Bahagia dari Seorang Pendosa

Hari ini, duniaku terasa seperti surga penuh berkat karena aku telah resmi menikahimu, Larasati Banarwati, perempuan yang kukenal sebagai Ba. Dengan ikatan ini, hidupku terasa lebih utuh dan agamaku lebih lengkap. Kini kita melangkah bersama, menyatu seperti sepasang sepatu yang tak terpisahkan. Seperti mimpi yang kau bisikkan padaku sebelum kita akhirnya menemukan jawabannya hari ini: Kau sebelum aku. Dan, benar. Aku adalah Alif, sebelum kau, Ba. Seandainya nanti kita memiliki seorang anak, maka akan kuberinama, TA, hanya TA. Aku berharap perjalanan kita ke depan akan seindah dan serasi seperti hari ini. Semoga kita terus bergandeng tangan, menghadapi segala tantangan dengan penuh cinta dan kebersamaan, selamanya.

 

Mei 1998

HARI ini, aku menemukan sebuah catatan yang mengubah segalanya. Dengan tangan bergetar dan hati berdebar, aku membaca nama Alif. Nama yang tidak pernah aku dengar sebelumnya, tetapi jelas sangat penting dalam kehidupan ibuku. Alif bukan hanya mencintai Larasati Banawari, ibuku, tetapi juga menikahinya secara sah menurut agama.

Dunia di sekelilingku terasa hancur. Selama ini aku tidak mengetahui apa-apa tentang latar belakang ibu, terutama tentang keluarga PKI-nya, dan kini aku mengetahui bahwa ibu pernah menjadi istri lelaki ini. Semua yang aku anggap pasti sekarang terasa goyang.

Siapa sebenarnya Alif? Bagaimana bisa dia begitu penting dalam cerita ibu dan keluargaku? Hatiku bergetar dengan setiap kata yang kubaca. Apakah Alif adalah suami kedua ibu? Dan jika iya, apa artinya itu untukku? Apakah aku anak dari Ayah Mail, seperti yang selama ini kukira?

Tak terasa, aku sudah duduk berjam-jam di kursi yang sama, dikelilingi oleh keheningan rumah yang berat. Angin lembut yang tak seberapa mengalir dari sela-sela jendela yang tertutup rapat hanya menambah rasa sepi itu. Buku catatan di tanganku terasa dingin dan berat, gemetar karena ketegangan. Aku terus membuka halaman demi halaman, berharap menemukan jawaban, namun setiap halaman berikutnya kosong—seperti langit mendung yang tak memberi harapan.

Kekecewaan menyergap saat aku mendapati bahwa lembaran-lembaran berikutnya tidak mengandung tulisan apa pun. Rasa putus asa mendera, membuatku merasakan keheningan yang semakin mendalam. Suara angin yang lembut dari luar rumah hanya menambah rasa hampa yang mengisi ruangan.

Dengan perasaan yang semakin menyesakkan, aku bangkit dan bertekad mencari jawaban di tempat lain. Aku menuju kamar ibu, dengan langkah-langkah pelan yang bergetar. Lemari ibu menyimpan banyak kenangan, dan aku mulai menggeledahnya dengan penuh harapan. Tanganku meraba-raba, membuka setiap laci, dan menyelidiki setiap sudut lemari, berharap menemukan sesuatu—sebuah petunjuk, kepingan masa lalu yang mungkin bisa memberikan jawaban.

Lihat selengkapnya