Teruntuk Ba, gadis impianku,
Setelah sekian lama, aku memberanikan diri untuk menulis kembali. Malam-malam panjang dan dingin selalu menyapaku, membawa bayangan tentang kamu yang mungkin kini sudah memiliki seorang anak perempuan cantik bernama Ta—nama yang sebenarnya kuinginkan untuk anak kita. Meski ini hanya imajinasi, rasanya kamu tetap hadir dalam setiap hembusan napasku.
Mungkin kamu tidak akan pernah membaca surat ini, tapi aku merasa harus menuliskan semuanya. Malam itu, aku adalah pemuda bodoh yang tersesat dalam gengsi dan egoku sendiri. Aku merasa terpuruk, seolah-olah tidak cukup layak menjadi suami yang bisa melindungimu, apalagi menjadi kepala keluarga. Perasaan itu semakin kuat ketika aku melihat kamu dan Mail, dekat dalam situasi yang aku anggap mengancam harga diriku sebagai suami. Rasa cemburu itu, Ba, menghancurkan logikaku.
Aku tak pernah mengungkapkan kecemburuanku padamu, dan itu adalah kesalahanku. Saat aku melihat bagaimana Mail dengan mudahnya datang membantu, aku merasa gagal. Aku tahu, niat kamu baik, kamu hanya ingin meringankan beban keluarga, tapi aku merasa seperti orang asing di rumahku sendiri. Aku terlalu marah pada diriku, dan mencemburui Mail hanya karena dia bisa melakukan hal-hal yang aku anggap seharusnya menjadi tugasku.
Ba, aku seharusnya bisa bicara padamu. Seharusnya aku tidak menahan semua ini dalam hati. Aku membuat kesalahan besar dengan pergi begitu saja, tapi kamu harus tahu bahwa cinta dan rinduku padamu tak pernah padam. Aku tak pernah berniat meninggalkanmu, tapi saat itu, aku terlalu dikuasai emosi.
Aku pergi dengan niat untuk bekerja keras, kembali dengan membawa cukup uang agar kamu tidak perlu lagi bekerja dan Budi bisa sekolah dengan layak. Tapi takdir berkata lain.
***
Alif mengendarai motornya dengan harapan besar. Setelah bertahun-tahun bekerja keras sebagai buruh bangunan, ia merasa siap untuk memperbaiki segalanya. Uang di sakunya adalah tiket untuk kembali, menjemput Ba dan Budi, serta membangun hidup baru. Tapi saat ia tiba di kontrakan itu, kenyataan yang menyambutnya menghantam tanpa ampun—Ba tengah menggendong bayi perempuan dan memanggilnya dengan nama yang pernah ia impikan, “Ta.”
“Ta?” bisik Alif, perasaan bahagia dan bingung bercampur aduk. Ia yakin itu anaknya, tapi sebelum bisa memastikan, seorang tetangga menghentikannya.
“Alif? Ba mencarimu saat dia hamil dan melahirkan. Kasihan anak itu, nyari bapaknya terus,” kata tetangga itu dengan nada setengah tercengang.
Alif tercekat, jantungnya terasa seperti diperas. Jadi, anak itu memang darah dagingnya? Tapi, sebelum ia bisa maju, Mail muncul dan menggendong Ta. Alif tertegun saat mendengar suara mungil itu memanggil Mail, “Ayah.”
Dunia Alif seketika runtuh. Ia merasa kecil dan tak berguna. Nasihat Abah kembali menghantuinya: “Punya anak perempuan itu berat, kamu bakal tahu nanti.” Namun kini, ia merasa sudah kalah sebelum sempat mencoba. Ia gagal sebagai suami, dan lebih buruk lagi, ia gagal sebagai ayah.
Mail terlihat seperti sosok ideal—pria yang selama ini ia cemburui ternyata bisa memberi apa yang tak pernah bisa ia berikan. Bayangan itu menghantui Alif, menggerogoti rasa percaya dirinya. Seketika ia teringat ucapan Haji Engkus beberapa waktu lalu: "Jika kamu lari dari tanggung jawab, kamu bukan lebih dari pengecut."
Ia seamakin melangkah mundur, bisikan keputusasaan menggema dalam pikirannya: Aku pengecut. Mereka lebih baik tanpa aku.
***
“Saat aku kembali, baru kutahu kamu telah melahirkan anak kita. Berarti, ketika aku pergi, kamu sedang mengandung. Melihatnya memanggil Mail ‘ayah,’ aku tahu saat itu juga—aku tak pantas untuk tinggal. Aku takut kehadiranku hanya akan menambah beban dan luka dalam hidup kalian.”
Aku duduk di atas dipan kayu di dalam rumah gubuk itu, jemariku memegang lembaran surat yang bergetar karena tanganku tak stabil. Di depanku, perempuan itu duduk dengan tenang, wajahnya menyiratkan penyesalan mendalam. Awalnya, aku pikir dia adalah istri baru Alif. Tapi ada sesuatu dalam cara ia bicara, dalam tatapan matanya, yang terasa lebih dalam dari itu.
“Saya meminta maaf atas nama Alif. Sebagai adiknya, saya ikut merasa bersalah,” katanya akhirnya, suaranya pelan tapi tegas.
Aku terdiam, mencoba memproses kata-katanya. Jadi ini dia... Aminah. Adik kandung Alif. Tante aku. Informasi itu mengguncangku sejenak. Aku pernah membaca nama Aminah di catatan Alif—seseorang yang ia sayangi, tapi juga seseorang yang terjebak dalam bayang-bayang keluarga yang penuh ekspektasi.
Aminah memperhatikanku, mungkin bisa melihat kebingungan di wajahku. “Maafkan Alif... Kami semua salah dalam mendidiknya. Abah terlalu keras, selalu bilang jadi lelaki dan ayah itu nggak mudah. Alif tumbuh dengan rasa takut. Dia... takut mengecewakan siapa pun.”
Aku ingin marah. Aku ingin berteriak bahwa semua itu tak cukup jadi alasan untuk pergi. Tapi kata-kata tersangkut di tenggorokanku. Aku hanya bisa menunduk, menggenggam surat di tanganku lebih erat.