Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #37

35.Asa

KARAWANG masih diselimuti kabut tipis yang membuat udara terasa lebih lembap dari biasanya. Ba duduk di depan mesin jahit, jari-jarinya menyusuri kain yang sudah setengah jadi, namun pikirannya melayang jauh. Matahari belum sepenuhnya menampakkan dirinya, tapi perasaan berat sudah menghantui Ba sejak subuh tadi. Alif belum pulang. Lagi-lagi ia memilih pergi setelah marah tanpa menjelaskan apa yang ada di pikirannya.

Di luar kontrakan sempit mereka, suara pedagang sayur yang lewat, bercampur dengan gemuruh mesin pabrik di kejauhan. Karawang semakin ramai, tetapi dalam hati Ba, sunyi semakin menguasai. Dia menatap tumpukan uang yang semakin menipis di dekat kompor. Uang itu hanya cukup untuk membeli sayur kangkung dan tempe hari ini, tapi Ba tahu bahwa belakangan ini Alif semakin sedikit membawa pulang uang. Tubuh Alif yang kian kurus pun menambah kekhawatirannya.

Mesin jahit yang diberikan oleh Pa’le Tori beberapa hari lalu masih berdiri di sudut ruangan, menjadi saksi bisu pergolakan batin yang terus berkecamuk di dalam rumah tangganya. Alif, yang dulu lembut dan penyabar, kini berubah. Ia lebih sering menelan masalahnya sendiri, dan ketika emosi memuncak, ia pergi tanpa memberikan jawaban pada Ba. Keputusan-keputusan Alif yang tiba-tiba meninggalkan Ba dalam kebingungan, membuatnya merasa semakin tersesat di tengah pernikahan yang dulu ia kira penuh kebahagiaan.

Pintu kontrakan berderit ketika Budi masuk. Anak itu, yang mereka selamatkan dari desa, tampak murung. Ba tahu, beban hidup mereka juga dirasakan oleh Budi, meski usianya masih terlalu muda untuk memahami sepenuhnya apa yang sedang terjadi.

"Teh, aku lapar..." ujar Budi dengan suara pelan, memecah kesunyian.

Ba tersenyum tipis, mencoba menutupi kecemasannya. "Sebentar ya, Bud. Teh masak dulu."

Namun saat itu juga, langkah kaki Alif terdengar dari luar. Pintu kontrakan terbuka perlahan, memperlihatkan sosok suaminya yang lusuh, wajahnya tertutup bayang-bayang kelelahan. Ia tidak berkata apa-apa, hanya duduk di lantai, meraih sebotol air dan meneguknya dengan cepat.

"Kamu dari mana, Alif?" Ba memberanikan diri bertanya, meski dia tahu jawabannya mungkin takkan dia dapatkan.

Lihat selengkapnya