Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #38

36.Mesin Jahit Pendosa

MALAM itu, udara Karawang semakin dingin, membawa kesunyian yang menusuk hingga ke tulang. Di dalam kontrakan yang sempit, Ba merasa dunia di sekitarnya mengecil. Hanya ada Alif di depannya, duduk dengan wajah tegang dan mata yang tak lagi memandangnya dengan cinta seperti dulu. Di antara mereka, keheningan yang tegang menggantung di udara, seolah menunggu pecahnya sesuatu yang tak terelakkan.

Budi, anak yang mereka tolong di desa, duduk di sudut ruangan dengan wajah polosnya. Dia asyik bermain dengan kayu-kayu kecil, tak sadar bahwa suasana di sekitarnya semakin panas. Sesekali, Ba melirik Budi dengan rasa sayang. Meskipun bukan anak kandungnya, Ba merasa bertanggung jawab atasnya. Namun, tanggung jawab itu kini menjadi sumber lain dari ketegangan antara dia dan Alif.

Alif menatap nasi dingin di depannya dengan sorot mata yang suram. Sudah lama sekali Ba tidak melihatnya tersenyum. Alif yang dulu penuh harapan, yang berjuang keras untuk mereka, kini hanya bayangan dari dirinya yang dulu. Dan Ba tahu, sesuatu di dalam diri Alif telah berubah.

“Alif, makanlah. Aku sudah siapkan,” kata Ba pelan, mencoba meraih suaminya dengan kata-kata sederhana.

Alif tidak menjawab. Dia hanya mengambil sendok, menyuapkan nasi ke mulutnya tanpa ekspresi. Keheningan itu terasa semakin menyesakkan. Ba tahu, ada sesuatu yang salah, tapi dia tidak tahu bagaimana cara memulainya.

“Kamu kenapa, Alif? Apa yang aku lakukan salah?” Ba akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, meskipun hatinya berdebar-debar.

Alif meletakkan sendoknya dengan keras, bunyinya menghantam piring dengan dentingan yang nyaring. Dia menatap Ba dengan tajam, seolah-olah pertanyaan itu adalah percikan yang memicu api kemarahannya.

“Kamu nggak ngerti, Ba,” suaranya rendah tapi tajam. “Kamu terima bantuan dari Mail tanpa pikir panjang. Kamu kira itu hal kecil?”

Ba terdiam, bingung. “Aku cuma mau bantu kita, Alif. Aku cuma ingin meringankan bebanmu. Mail dan Pa’le Tori kasih mesin jahit itu untuk kita.”

“Untuk kita?” Alif tertawa getir, penuh kepahitan. “Bukan, Ba. Itu bukan untuk kita. Itu untuk kamu. Seolah-olah aku nggak mampu jadi kepala keluarga. Kamu pikir aku nggak merasa tersingkir?”

Ba menatap Alif dengan kebingungan. “Aku nggak maksud begitu, Alif. Aku cuma ingin membantu. Aku tahu kamu capek, jadi aku pikir kalau aku bisa menjahit, kita bisa punya penghasilan tambahan.”

Lihat selengkapnya