Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #39

37.Merasa Berdosa

“SEKARANG kamu tahu kenapa Ibu lebih memilih bisu saat marah?” Suara parau Ibu membuat hatiku melandai, penuh rasa sakit. Ruang depan yang sempit dan suram terasa semakin menyesakkan. Bau lembap dari dinding yang lama tidak pernah dicat menyelimuti udara, bercampur dengan aroma hutan hujan yang menembus dari jendela. Air mata Ibu mulai membasahi pipinya, mengalir lembut seperti embun pagi di daun.

Om Udi berdiri di samping, tangannya menepuk lembut punggung Ibu. Suaranya rendah, penuh simpati, menyampaikan dukungan yang dalam. Punggung Ibu berguncang pelan, merasakan dampak dari kata-kata yang menyakitkan itu. Dia tampak seperti patung yang mengingatkan akan kepedihan yang tak kunjung reda, dan mata Om Udi penuh dengan rasa sayang dan kepedihan yang sama.

“Kepedihan ini bukan hanya milik Ibu,” kata Ibu dengan suara bergetar. “Ini adalah warisan dosa dari masa lalu, sebagai keturunan PKI yang menghitamkan hidup kami. Ibu dikucilkan, dipandang rendah, bahkan pemuda yang dulu melindungi Ibu, sekarang meninggalkan Ibu. Semua ini adalah bagian dari beban dosa yang kami bawa dari generasi ke generasi.”

Ibu tampak menahan napas untuk melanjutkan omongannya. “Meskipun ayahmu, Mail, menepati janjinya menyekolahkan Om Udi. Rupanya itu tidak serta merta memudahkan segalanya. Om Udi tercatat sebagai keluarga PKI membuatnya sulit diterima di sekolah negeri mana pun hingga ia dikucilkan dan mendapat pendidikan seadanya.”

“Meski begitu, Om sangat berterima kasih pada ayahmu yang sudah menggurus Om sedemikian baik. Seandainya ayahmu, Mas Mail, tidak memberikan Om pekerjaan di tokonya, mungkin akan sangat sulit bagi Om untuk mencari pekerjaan. Cap keturunan PKI itu sangat sulit dihapuskan bak dosa turunan.”

Aku merasa hatiku teriris, bercampur antara bingung, sedih, dan perih. “Lalu bagaimana bisa Ibu menikah dengan ayah? Aku anak ayah, kan?” tanyaku dengan suara bergetar. Rasanya setiap kata yang keluar dari mulutku seperti pisau yang merobek-robek hatiku sendiri. Air mata Ibu semakin deras, membasahi wajahnya yang pucat. Tatapannya kosong, menatap ke depan dengan ekspresi yang seolah melamun jauh ke dalam masa lalu.

Ibu tampak terpaku, seolah tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan. Jarak emosional yang terasa di antara kami seperti jarak yang tak tertembus, menggarisbawahi betapa dalamnya luka yang dia simpan. Suasana di ruang depan semakin terasa berat, seolah kegelapan malam yang menyelimuti luar jendela menyusup ke dalam hati kami.

Lihat selengkapnya