Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #40

38.Dosa Terlupakan

HARI demi hari berlalu dengan perasaan hampa yang semakin menyelimuti Ba. Tubuhnya, yang dulu kuat, kini terasa ringkih dan mudah lelah. Setiap kali Ba berusaha bangkit dari kasur, tubuhnya bergetar lemah, seolah tidak ada kekuatan yang tersisa. Kaki-kakinya terasa berat dan nyaris tidak mampu menahan beban tubuh. Wajahnya tampak pucat, dan setiap langkah yang diambilnya disertai dengan napas pendek dan cepat.

Aroma bawang yang biasa mengundang selera kini menjadi hal yang tak tertahankan. Budi, yang dengan cekatan menggoreng telur di dapur, mengeluarkan aroma yang meski sederhana, terasa menyengat dan membuat perut Ba bergejolak. Mail datang dengan rantang makanan, dan aroma makanan buatan Ibu Mail yang dulu disukai Ba kini terasa seperti siksaan.

Mail membuka rantang, mengeluarkan hidangan yang tampak menggugah selera. “Laras, makanlah!” katanya, berusaha membuka mulut Ba dengan lembut. Rasa lapar yang disertai dengan mual membuat perut Ba terasa naik ke atas, seolah mengamuk. Suara kerongkongan Ba bergetar, terasa panas dan kering. Setiap kali ia menelan, seperti ada api yang membakar tenggorokan, membuatnya terpaksa meringis kesakitan.

Mail, yang melihat keadaan Ba, semakin panik. “Bud, Budi! Ambilkan air putih!” Suaranya bergetar, gemetar antara khawatir dan frustasi. Ba mencoba meneguk air yang diberikan Mail, namun baru satu teguk, rasa mual itu kembali menderu, dan perut Ba terasa melawan, membuatnya hampir muntah. Bau makanan dan rasa mual menyatu dalam kesedihan, menguatkan rasa rindu yang bercampur pahit.

Perasaan Ba bercampur antara keputusasaan dan rindu yang mendalam. Air mata mulai mengalir di pipinya, seolah semua perasaan yang terpendam selama ini meledak begitu saja. Ia merasa seperti tidak hanya dikhianati oleh Alif, tetapi juga oleh hidupnya yang mulai hancur. Tangisan Ba adalah ungkapan rasa sakit dan kecewa yang mendalam, yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Mail mengangkat segelas air putih, mengulurkannya ke Ba dengan tangan bergetar. “Minum dulu!” Suaranya lembut namun penuh tekad. Ba menerima gelas itu, tetapi hanya satu tegukan yang berhasil ia telan sebelum perutnya kembali memberontak.

Mail menjadi semakin gelisah. “Tidak bisa dibiarkan. Kita ke dokter sekarang!”

Ba berusaha bangkit dari kasurnya, suara yang penuh tekad menyela, “Aku tetap mau cari Alif!”

Mail tampak marah dan cemas. “Hati-hati! Jangan!” Suaranya menggelegar, berusaha menahan Ba yang mencoba berdiri. Namun, Ba merasa kegelapan mulai menyelimuti pandangannya. Kepalanya berkunang-kunang, dan rasanya seperti berada di ujung jurang yang dalam. Seluruh ruangan bergetar dan kabur, membuatnya hampir terjatuh. Dalam keadaan pingsan, tubuh Ba akhirnya runtuh kembali ke kasur, meninggalkan Mail dan Budi yang panik melihat kondisi Ba.

Lihat selengkapnya