Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #41

39.Ta Tanpa Berdosa

SEJAK itu, keinginan Ba untuk melihat Alif kembali ke kontrakan mulai memudar. Setiap hari yang berlalu tanpa kabar dari Alif terasa sia-sia, dan Ba akhirnya menyadari betapa menunggu tanpa kepastian hanya akan menyiksanya. Perlahan, ia mulai bangkit dari keterpurukan. Dengan tekad untuk mengusir kenangan Alif dari pikirannya, Ba kembali menjahit, tenggelam dalam kesibukan untuk menutup luka hatinya.

Di tengah rutinitas baru ini, Pa’le Tori sering mampir untuk memeriksa Ba. “Nduk, Alif itu bukan anak kecil yang tidak tahu jalan pulang. Jika ia tak kembali, pertanda ia memang tidak pernah mau balik,” ujar Pa’le Tori dengan nada yang penuh kepedihan.

Kata-kata Pa’le Tori seolah menggores luka lama yang belum sepenuhnya sembuh. Ba berusaha menguatkan diri, merasa sudah berulang kali mengalami kehilangan dan seharusnya sudah hapal cara mengatasi perihnya. Namun, lagi-lagi ia terjatuh dan sulit untuk bangun. Mungkin ada kalanya orang harus tahu dulu rasanya terjatuh lalu terluka, biar tahu jatuh itu bisa melukakan.

Dengan tekad dan sedikit harapan, ia terus menjahit, berusaha menutup kekosongan yang ditinggalkan Alif.

Mail datang setiap hari, membawakan makanan dengan penuh perhatian. “Gimana kamar kamu hari ini?” tanyanya dengan nada lembut, sambil memeriksa keadaan Ba.

Kehadiran Mail, dengan semua perhatian dan kepeduliannya, sedikit meringankan beban yang dirasakan Ba. Walaupun pikirannya tidak pernah berhenti bertanya-tanya tentang keberadaan Alif, seberapa bahagia atau sedih dia, perasaan tersebut sedikit teralihkan oleh perhatian Mail. “Sedang apa dia sekarang? Apakah dia tahu aku mengandung?” pikir Ba sambil menatap Mail yang sibuk menata makanan.

Budi juga menunjukkan perhatian yang mendalam. Setiap kali pinggang Ba terasa panas saat menjahit, Budi akan dengan sigap memijat dan meredakan ketidaknyamanan. “Makasih, Bud,” ucap Ba dengan penuh rasa terima kasih, merasakan kehangatan dari perhatian Budi yang sederhana namun berarti banyak.

Seiring waktu berlalu, perut Ba semakin membuncit. Suatu hari, saat ia sibuk mengejar tenggat jahitan, perutnya tiba-tiba terasa melilit. Rasa sakit datang bergelombang, seperti gelombang panas yang menerjang. Napasnya mulai tersengal, dan rasa mual menyergap tenggorokannya.

“Budi! Carikan Mail! Cepat!” teriak Ba dengan suara serak, saat rasa sakit semakin mencekam.

Perut Ba terasa semakin menekan, nyeri yang merambat hingga ke punggung membuatnya sulit bergerak. Setiap gerakan disertai dengan rasa nyeri tajam, seakan-akan ada sesuatu yang hendak meledak dari dalam dirinya. Ketuban tiba-tiba pecah, mengalirkan cairan hangat yang membasahi pakaian dan kasur.

Rasa sakitnya semakin intens. Ba merasakan dunia sekelilingnya bergetar, dan suara-suara di sekitarnya mulai terdengar samar. Mual kembali datang, menyebabkan tenggorokan Ba terasa terbakar, seolah seluruh tubuhnya bergetar dalam kepanikan. Pikirannya hanya berputar pada satu hal: memastikan Mail segera datang sebelum ia benar-benar kehilangan kendali atas rasa sakit yang menyelimutinya.

*** 

Malam itu, ruang bersalin terasa sempit dan berat, diterangi cahaya kuning pucat dari lampu minyak yang bergetar. Aroma antiseptik bercampur dengan keringat dingin yang mengucur dari dahi Ba, menciptakan suasana yang penuh ketegangan. Rasa sakit melahirkan datang seperti gelombang, mengoyak setiap serabut saraf Ba. Keringat menetes di pelipisnya, sementara udara malam yang dingin menyelinap melalui jendela terbuka.

Lihat selengkapnya