Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #42

40.Dosa Tersembunyi

Mei 1998

“JA-JADI aku…” Aku menjeda ucapanku, kata-kata serasa tersangkut di tenggorokan. “Anaknya Alif?”

Kata-kata itu menghancurkan semua yang kukenal. Saat Ibu mengangguk dengan wajah basah oleh air mata, seluruh dunia terasa runtuh dalam hening. Tangisan Ibu bergema lembut, seolah mengisi seluruh ruang. Tangannya yang gemetar memegangi lengan kursi, berusaha menenangkan diri di tengah kesedihan yang mendalam.

Om Udi berdiri di samping, dengan ekspresi prihatin yang tidak bisa menyembunyikan rasa sedihnya. “Ya, betul. Kamu anaknya Ang Alif, Ta!” ucapnya, suaranya serak oleh emosi yang mendalam.

Rasa kehilangan menyergapku tiba-tiba. Aku merasa seperti melayang tanpa pijakan, seolah identitas dan kenangan bersamaku hancur dalam sekejap. Kepalaku berdenyut seakan ditarik ke dalam kekosongan. Suara di sekelilingku terdengar jauh dan samar, seolah aku berada di bawah air.

Aku menatap buku catatan usang milik Alif yang tergeletak di sofa dekatku. Kulitnya yang kotor dan sobek seolah mengingatkan pada kenyataan pahit yang baru terungkap. Aku menggapai buku itu, merasakan dinginnya di tangan. Nama yang selama ini kukenal sebagai ayahku, yang kuanggap sebagai sosok pelindung dan kasih sayang, kini terasa seperti ilusi yang terpecahkan.

“Mas Mail menjaga kami setelah Ang Alif tidak ada kabar. Tidak hanya berusaha keras agar Om bisa sekolah, Mas Mail juga sangat menyayangi kamu seperti anaknya,” lanjut Om Udi, suaranya bergetar namun penuh kehangatan.

Perasaanku campur aduk. Di satu sisi, aku merasa sangat berterima kasih pada Ayah Mail yang selalu hadir dengan kasih sayang dan perhatian. Di sisi lain, kepedihan yang mendalam muncul karena kenyataan bahwa sosok yang selama ini kukenal sebagai ayah biologis bukanlah seperti yang kuanggap selama ini. Ketenangan yang kuharapkan, kenangan yang terpatri, dan rasa kehilangan yang sulit untuk dilupakan karena cintaku pada Ayah Mail sekarang terasa menyakitkan dan membingungkan.

“Jadi, orang asing dalam buku catatanku adalah ayah biologisku?” Suaraku pecah di tengah kesedihan.

Om Udi mengangguk perlahan, wajahnya penuh simpati dan kepedihan. Ibu menunduk, berusaha menghindari tatapanku.

Aku merasa terjebak antara rasa terima kasih yang mendalam atas kasih sayang Ayah Mail dan kepedihan yang mencekam karena kehilangan sosok yang selama ini kuanggap sebagai ayahku. Kenangan indah bersama Ayah Mail, yang sering memberi dukungan dan perhatian selama ini, kini terasa seperti kenangan yang tidak bisa sepenuhnya menggantikan kekosongan ini. Setiap detail di ruangan terasa seperti pengingat akan kenyataan yang harus kuhadapi, membuatku merasa terjebak di antara kebahagiaan atas kasih sayang Ayah Mail dan kesedihan atas kehilangan sosok yang selama ini kuanggap sebagai ayahku.

“Om sendiri yang menemukan buku catatan itu di bawah kasur kemudian Om memberikannya pada ibumu,” jelas Om Udi. “Meski begitu, jangan khawatir, Om bisa pastikan Ayah Mail-mu itu sangat menyayangimu, menyayangi kita semua.”

*** 

Tiga tahun berlalu, dan kehidupan di kontrakan kecil itu melanjutkan ritmenya. Ba kini adalah ibu yang tegar, menjalani hari-harinya dengan menjahit dan membesarkan anak perempuannya dengan sepenuh hati. Meski suasana tetap sederhana, kerinduan akan Alif seolah diredam oleh rutinitasnya yang padat.

Budi, meski menghadapi berbagai tantangan di sekolah—terutama karena cap anak PKI—menemukan pelarian dalam kesibukan sehari-harinya. Namun, nasib seolah mempermainkan mereka, menguji batas kesabaran dan kasih sayang mereka.

Satu malam, suara tangisan Ta yang berusia dua tahun memenuhi ruangan kecil. Tangisan itu tajam, seolah mencabik-cabik ketenangan malam. Keringat dingin mengalir di dahi Budi saat ia mencoba menenangkan Ta. Bayi kecil itu terasa panas di tangannya, tubuhnya hangat dan gemetar, membuat Budi merasa cemas dan tidak berdaya.

“Ta sepertinya demam, Teh!” seru Budi, suaranya bergetar.

Ba yang sedang terbungkus dalam tumpukan kain dan benang, menghentikan pekerjaannya dan menempelkan telapak tangannya di dahi Ta. “Astagfirullah! Benar ia demam,” kata Ba dengan wajah putus asa. Tubuh Ba lelah dan frustasi, tetapi dia segera menggendong Ta, mencoba menenangkan tangisannya yang semakin nyaring.

Saat itulah Mail datang dengan membawa makanan. Di ujung gang, tangisan Ta sudah membuatnya khawatir. Wajah Mail langsung berubah, menampakkan kepanikan yang mendalam. “Kenapa? Dari ujung gang tangisan Ta terdengar,” tanya Mail, matanya penuh kekhawatiran.

“Mungkin karena masuk angin,” jawab Ba, suaranya lemah dan penuh kepasrahan.

Lihat selengkapnya