Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #43

41.Dosa Terlarang

DI RUANG tamu rumah yang sederhana, diterangi cahaya matahari siang yang lembut, suasana terasa berat. Aroma kopi baru yang mengepul tak mampu mengusir kepedihan yang menyelimuti ruangan ini.

“Ibu jadi tahu bagaimana perasaan Alif saat itu,” suara Ibu bergetar, menahan isak tangisnya. “Bukan tanpa usaha. Ibu pernah kembali ke Desa Buniseuri saat kau berusia satu tahun. Keluarganya bilang Alif tidak ada di sana. Ibu sudah memohon untuk dipertemukan, tetapi mereka tetap teguh menjawab mereka tidak tahu Alif di mana. Bahkan, mereka menyalahkan Ibu atas kepergian Alif, putra mereka satu-satunya.”

Air mata Ibu membasahi pipinya, menggambarkan kesedihan yang mendalam. Suaranya serak, penuh kepedihan. “Semua sudah Ibu lakukan. Hingga Ibu benar-benar bisu kembali. Dan, melihat kedekatanmu dengan Mail, Ibu pun akhirnya menerima pinangan Mail.”

Om Udi, berdiri di sudut ruangan dengan ekspresi penuh empati, menambahkan, “Om juga mendorong Ibu untuk itu.”

Dunia rasanya hancur. Rasa bingung dan sakit memenuhi dadaku. “Jadi ayah Mail bukan ayah kandungku dan Alif, lelaki yang ada di catatan itu adalah ayahku?” tanyaku, suaraku hampir tak terdengar, tenggelam dalam gemetar.

Ibu mengangguk perlahan, setiap gerakannya penuh beban.

Aku merasa seolah dunia ini runtuh. Dengan tangan bergetar, aku mengambil buku catatan usang itu dari meja, kemudian berdiri dengan tubuh yang terasa lemah. Tas ranselku menggantung berat di pundak saat aku meraihnya, ingin segera menjauh dari tempat ini yang tiba-tiba terasa sangat menyesakkan.

“Ta, mau kemana kamu?” Om Udi berlari mengejarku, suaranya cemas dan terdengar samar.

 

Aku tak menjawab. Dengan tangan yang masih gemetar, aku membuka pintu depan dan keluar ke luar, menuju sepeda motor hitamku yang bersandar di depan rumah. Dengan penuh kemarahan dan kesedihan, aku menarik gas sepeda motor, suara deru mesin menggantikan kata-kata yang tak bisa kuucapkan.

“Ta! Tunggu!” teriak Om Udi, suaranya semakin jauh seiring aku meninggalkan tempat itu.

Di tengah siang yang terik, sambil menyetir dengan kecepatan tinggi, air mata terus mengalir. Aku merasakan angin yang membelah wajahku, seolah angin itu juga mencoba menghapus segala rasa sakit yang kupertahankan. Aku tahu ke mana aku harus pergi—ke tempat yang penuh kenangan dan kebingungan, mencari jawaban yang mungkin tak pernah ada.

***

Kerusuhan di Universitas Trisakti itu seperti letusan gunung berapi yang tak tertahan. Lautan manusia bergerak liar, berdesak-desakan dalam keremangan senja yang nyaris gelap. Asap hitam membubung tinggi, menutup langit dengan kabut pekat yang membakar tenggorokan dan menggelapkan mata. Bunyi ledakan dan teriakan bercampur dalam simfoni kekacauan, sementara kendaraan-kendaraan terbakar menyemburkan api yang menyala-nyala.

Lihat selengkapnya