Dosa Turunan

Tian Setiawati Topandi
Chapter #45

44.Jejak Terakhir

IBU dan Om Udi berdiri di ambang pintu, air mata membasahi pipi mereka. Mata mereka penuh keheranan dan kesedihan saat melihatku memegang surat dari Ayah Alif. Seolah mereka tidak percaya, akhirnya aku bisa menelusuri jejak ayahku tanpa bantuan siapa pun. Rasanya seperti seseorang membimbingku, hingga aku bertemu Arlan yang memberitahuku ada dua orang bernama Ta di dunia ini.

Tanpa pikir panjang, aku memeluk Ibu erat. Kesedihan dan rasa sakit kami menjadi satu, terhubung oleh warisan dosa yang membuat hati kami teriris. Aku mengangkat surat itu, suaraku bergetar penuh harapan. “Ibu, bacalah!”

Ibu mulai membuka surat, tangannya bergetar saat kertas itu terlipat. Setiap kata yang dibaca seakan menambah berat beban yang dipikulnya. Tubuhnya mulai lunglai, dan Om Udi harus memegangi bahunya. Tangisan Ibu pecah, seperti suara gemuruh yang mengguncang seluruh ruang.

"Aminah... di mana Ang Alif?" Ibu bertanya dengan suara bergetar, penuh harapan sekaligus ketakutan.

Aminah menatap kami satu per satu sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Ang Alif... sudah tidak ada, Ba," jawabnya pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Dia meninggal dua minggu lalu. Dia sudah lama sakit... dan tak ada yang bisa dilakukan."

Dunia terasa runtuh saat kata-kata itu keluar dari mulut Aminah. Ibu terjatuh ke lantai, memegangi dada, seolah jiwanya tak sanggup menanggung beban itu. Aku hanya bisa berdiri kaku, tak tahu harus merespons bagaimana. Ayah Alif... ayah kandungku... telah meninggal tanpa pernah tahu bahwa aku ada.

Malam yang begitu hening terasa menusuk di rumah kecil ini. Aku masih duduk, surat di tangan, tangan yang terus bergetar sejak tadi. Kata-kata dari surat Ayah Alif seperti racun yang mengalir perlahan dalam darahku. Bagaimana mungkin aku tidak pernah tahu? Bagaimana mungkin selama ini aku hidup tanpa mengetahui siapa ayah kandungku?

Di hadapanku, Ibu dan Om Udi berdiri terdiam. Wajah mereka terlihat kosong, mungkin sama terkejutnya denganku. Rasanya seperti diriku baru saja dilempar ke dunia lain—dunia di mana kenyataan ternyata jauh lebih kejam dari yang pernah kubayangkan.

"Ayah Alif..." suaraku nyaris tak terdengar. Aku mencoba mencari jawaban dari Ibu, menatapnya dengan harapan, tetapi yang kulihat hanya rasa bersalah yang begitu mendalam. "Dia... dia tidak pernah tahu tentang aku?"

Ibu menggeleng pelan, dan air mata mengalir dari sudut matanya. "Tidak, Ta. Ayah Alif pergi sebelum aku tahu bahwa aku hamil. Dia... dia tidak pernah tahu bahwa kamu ada."

Aku menunduk, tubuhku terasa lemas. "Jadi, selama ini... dia pergi karena dia merasa gagal? Karena dia cemburu pada Ayah Mail? Karena dia merasa... tidak berguna?"

Ibu mengangguk, isaknya semakin keras. "Dia merasa tersisih, Ta. Mail hanya mencoba membantu, tapi Ayahmu... dia terjebak dalam rasa cemburu dan gengsinya sendiri. Aku juga salah... aku tak pernah bisa memahami apa yang ia rasakan. Aku baru paham setelah menemukan dan membaca buku catatannya."

Lihat selengkapnya