Hari itu adalah hari yang lengang, dimana tak banyak pengunjung untuk berbelanja. Barang-barang baru dari supplier supermarket juga baru saja datang. Jumlah totalnya ada sebelas boks dari bermacam-macam buah dan sayur yang terkemas apik. Elda pun memutuskan untuk menata barang-barang yang baru datang dari pemasok. Sayur-sayuran segar seperti selada, pakcoy, ataupun paprika yang beraneka warnanya sangat menarik perhatian Elda. Selain itu terdapat pula buah-buahan impor dengan ukuran besar yang manis, begitu kata Aden, patner shiftnya bulan ini.
“Aku bertaruh kamu nggak pernah makan itu semua” kata Aden mengejutkan Elda yang asyik menata buah sesuai kategori.
Elda terdiam merenung, ia memang tak pernah mencicipi sayuran atau buah-buahan segar ala supermarket. Selama ini ia selalu menikmati produk lokal dengan kualitas standar atau mungkin jauh di bawah kata standar jika melihat keuangannya yang tipis. Maklum saja, Elda berasal dari keluarga menengah yang sekarang hidup sebagai anak kos.
“Heh, memang kamu pernah? Jangan seenaknya mengolokkanku, ya!” balas Elda menyeringai. Meski Aden sering mengolok Elda, tapi ia yakin patnernya tidak ada sedikitpun niat merendahkan dirinya. Begitulah Elda, sosok yang tidak terlalu memikirkan apa kata orang.
“Jelas pernah, lah! Kamu kira aku pembual? Aku pernah makan pisang itu. Isinya lembut banget, manis pula!” oceh Aden menunjuk pisang cavendish yang dibawa Elda, “aku juga pernah makan pizza yang di atasnya ada potongan umm.. apa yaa.. itu, sayuran berwarna merah dan hijau seperti apel di sana,” lanjutnya sembari menunjuk blok sayuran. Rupanya sayur yang ditunjuk Aden adalah paprika.
Elda meringis, “dasar! Namanya aja nggak tahu!”
Mereka berduapun larut dalam tawa. Obrolan ringan semacam itu memang mampu memecah suasana dan menjadi jembatan komunikasi mereka. Awalnya, Elda adalah seorang introvert, begitupun Aden yang tidak suka mempedulikan orang asing. Namun, pekerjaan dan shift bersama yang harus dilewati menuntut mereka untuk bisa berbaur dengan baik.
BRUKK! Tiba-tiba boks cabai merah dari supplier yang baru datang terjatuh dan menumpahkan seluruh isinya, “maaf, aku hanya ingin membantu”
Seorang laki-laki dengan perawakan bapak-bapak muda itu dengan canggung mengutarakan maaf pada Elda dan Aden yang bertatapan satu sama lain. Ia mencoba berdiri dan sesegera mungkin memungut cabai-cabai segar yang berceceran di hadapannya. Tingkah laki-laki itu sangat konyol sehingga membuat Elda tertawa keras.
“Ahaha! Bapak ini konyol banget! Sudah, nggak perlu bantu kami, Pak. Bapak kan ini pelanggan, jadi nggak perlu melakukan pekerjaan kami” kata Elda ringan. Sosok periang itu membuat si lelaki semakin salah tingkah dan tidak tahu harus merespon apa.
Aden menginjak kaki Elda dengan sedikit berbisik memperingatkannya, “sst.. berperilakulah yang sopan dengannya”
“Heeh, memangnya kenapa? Apa sikapku kurang ramah pada pelanggan?” tanya Elda kebingungan pada Aden.
“Tolong Tuan biarkan saja, biar kami yang membereskan” Aden meninggalkan tempatnya menuju laki-laki konyol yang semudah itu menjatuhkan barang untuk dijual. Elda hanya memandang keheranan mengapa Aden begitu bersimpati pada laki-laki itu. Jika memang laki-laki itu ingin membantu dan malah berbuat kesalahan, maka seharusnya ia berani mempertanggungjawabkannya, pikir Elda.
“Maafkan kami yang tidak cepat bekerja” lanjut Aden. Elda semakin tidak memahami keadaan. Seketika sikap Aden yang tidak mudah peduli dengan orang malah merendahkan diri di hadapan orang itu.