Teruslah hidup. Aku dan kamu sama saja, karena saudara kembar itu satu jiwa meskipun beda raga. Ucapan itu terus menggema dalam pendengaran seorang laki-laki muda berusia dua puluh empat tahun yang terduduk lemas di atas tempat tidurnya. Keringat dingin terus bercucuran membasahi baju yang baru saja ia ganti tadi sore. Ega Saotome, seorang pewaris tunggal supermarket besar yang terletak di pusat kota itu dapat dikatakan sukses di usianya saat ini. Sebagai lulusan S2 dan mampu mengelola supermarket peninggalan ayahnya, Ega dikategorikan pemuda berhasil karena dapat memperoleh omzet hingga ratusan juta per bulan.
“Maaf Tuan, apa Tuan baik-baik saja?” tanya seorang wanita berusia senja yang telah lama mengabdi pada keluarga sang laki-laki muda, “maaf tadi saya lihat pintunya terbuka”
Dalam ruangan yang gelap itu, Ega terengah-engah berusaha melupakan suara yang membayanginya, “tak apa, Bi. Silahkan lanjutkan bekerja”
Wanita tua yang biasa dipanggil Bibi itu kemudian undur diri, dengan takut-takut ia masih memperhatikan majikannya. Sudah tiga bulan lebih laki-laki yang dikenalnya sebagai Tuan Muda itu tenggelam dalam rasa frustasi. Kecelakaan maut yang menimpa sang tuan muda sekaligus merenggut nyawa ayahnya itu diiringi dengan kematian saudara kembarnya telah menjadi pengalaman paling pahit yang disaksikan Bik Sutinah. Meskipun tak lagi muda, Bik Sutinah selalu memberikan semangat dan motivasi pada Ega. Namun hasilnya sama saja, Ega masih dalam penjara keterpurukan tanpa celah.
Kesedihan yang pernah dialami Ega tak pernah sepedih saat ditinggalkan Aga Saotome, saudara kembarnya. Selama hidupnya, Ega telah lama menanggung beban dari kebencian ayahnya yang menuduh dirinya sebagai sebab kematian ibunya sendiri. Pada saat melahirkan, Gayatri Saotome, ibu Aga dan Ega sekaligus istri dari Ae Saotome hanya memiliki kesempatan melahirkan satu anak dan harus mengorbankan satu anak lainnya. Tetapi Gayatri Saotome memilih melahirkan kedua anaknya dengan mempertaruhkan dirinya yang telah banyak kehabisan darah, sehingga Aga dan Ega terlahir dengan selamat.
Ega jangan bersedih, masih ada aku di sini. Teringat ucapan Aga saat kedua saudara kembar itu masih anak-anak.
Biar aku yang bicara dengan ayah agar tidak menyalahkanmu terus. Gema tutur kata Aga sebagai kakak yang ingin menenangkan adiknya selama mereka belia.
Aku lebih tidak bisa hidup tanpamu, jadi lebih baik aku yang pergi. Pesan terakhir Aga yang diucapkan sebelum ia benar-benar menghembuskan nafas terakhirnya di hadapan Ega.
Semua kalimat puitis yang selalu dilontarkan Aga membuat Ega merasa tenang. Namun semuanya menjadi hal yang paling ingin Ega lupakan seiring dengan kepergian Aga. Ega selalu mengerang dengan rasa penuh pesakitan dalam dadanya, ia merasa antara hidup dan mati. Jiwa yang dimilikinya seolah terbagi, tak lagi utuh seperti sebelumnya. Seharusnya di hari itu dia yang harus pergi. Ega yang sebenarnya mati!
“Aargh!!” teriak Ega dengan membenamkan dirinya pada tempat tidur menggunakan bantal, “seandainya semua uang itu bisa membeli nyawamu,” keluh Ega terus-menerus melihat brankas uang yang berada di seberang tempat tidurnya. Tak berapa lama ia kembali terlelap oleh alunan musik favoritnya dan Aga.
“Kamu ini gimana sih? Kalo aku hidup sendiri tanpa kamu, aku bakalan merasa mati. Jadi sama aja” celetuk Aga yang terbaring lemas di atas bed rumah sakit, “lagipula aku juga sering lupa makan. Kalo bukan kamu yang ingetin, pasti aku nggak bakal makan”
“Ya tapi nggak harus seperti ini. Kamu ini gila, ya? Bisa-bisanya rela darahmu dikuras habis hanya demi aku” elak Ega masih tak mau menerima kenyataan bahwa Aga adalah pendonor tunggalnya.
“Jadi siapa lagi yang mau donor darah sebegitu banyaknya buat kamu? Kamu kira darah AB- gampang dicari?” seloroh Aga, “lagipula penyakit gastritisku juga udah kronis, nggak bakal lama la–“
“Cukup, Aga! Nggak usah banyak bicara, istirahat aja”