Langkah Kin lambat dan goyah, tapi tujuannya pasti, memasuki gua itu.
Suhu di dalam gua hangat dan kering, Kin merasa cukup nyaman. Ternyata gua tidak sama dengan yang dia pikirkan; lembab, basah dan berbahaya—seperti yang sering dia tonton di National Geographic Channel.
Terhampar bebatuan bulat bermacam-macam ukuran di dalam gua, sedangkan langit-langitnya didominasi warna merah kehitam-hitaman.
Pandangan Kin tertuju ke titik cahaya kuning keemasan nan jauh di dalam gua dan, dia memutuskan untuk menghampirinya.
Awalnya, lorong gua cukup luas, dia bisa leluasa menapakinya. Namun, semakin ke dalam, lorong itu semakin sempit, beberapa kali Kin harus berjalan dengan posisi jongkok—jarak kepala dan langit-langit hanya sejengkal jari. Di titik ini, dia merasakan perubahan suhu; panas dan pengap. Untung saja tidak ada gangguan dari binatang-binatang seperti ular berbisa atau kelelawar yang dia benci.
Ketika langkah Kin sudah dekat dengan tujuannya, tubuhnya dirangsang dengan udara segar dan wangi rerumputan basah, sesuatu yang begitu menyegarkan dan menenangkan. Tanah kering di dalam gua menjadi sedikit lembab, seperti habis terkena gerimis dan terdengar suara gemuruh yang asalnya dari luar gua.
Dia mempercepat langkahnya.
Hal pertama yang ditangkap matanya ketika keluar dari dalam gua adalah, keindahan alam paling menakjubkan yang pernah dia lihat.
Kin menatap jauh dua kilometer ke depan; ada air terjun yang memuntahkan deras air ke bebatuan di bawah, menciptakan aliran sungai yang membelah hijau dan rimbunnya pepohonan di sekitar—airnya bening seperti kaca.
Kin memutuskan untuk melangkah di jalan setapak dari bebatuan yang di kiri dan kanannya ditumbuhi bunga bluebells yang bermekaran. Jalan setapak itu mengarah ke sebuah pohon besar tinggi yang di sekelilingnya terdapat empat buah bangku panjang terbuat dari batu.