Kin tersentak bangun dari tidur. Jam digital di dasbor menunjukkan pukul 11.30 malam. Keningnya dibasahi keringat, napasnya tersengal-sengal.
“Mimpi buruk?” tanya Gavin.
Kin menatap Gavin yang sedang mengemudikan Range Rover melewati kios-kios tutup di pinggiran jalan Lintas Sumatera yang sepi. “Ya,” jawab Kin.
“Kin,” Leta memanggilnya dari bangku belakang sambil menyodorkan botol air mineral (kemasan 600ml).
Kin meraih air mineral, membuka tutup botol dan meminumnya. Kemudian, tubuhnya disenderkan ke kursi, mencari posisi yang paling nyaman.
Perjalanan ini terasa menyebalkan baginya. Dari Jakarta Selatan menuju Bandar Lampung tanpa melewati jalan tol membuatnya mau menangis. “Dua ratus empat puluh tujuh kilometer!” kata Kin, saat melihat jarak yang harus mereka tempuh di Google Maps. Namun, sekeras apa pun dia menolak gagasan Leta yang ingin melihat-lihat dan makan-makan di kota-kota yang mereka lewati—dari Jakarta menuju Bandar Lampung, tetap saja dia akan kalah, karena Gavin—kekasih Leta—yang mengemudikan mobil—dan satu-satunya di antara mereka yang bisa mengemudikan mobil.
“Jadi, Freddy Krueger hadir di mimpimu?” Leta bertanya lalu tertawa.
Kin tersenyum sambil menggeleng. “Aku rasa lebih mengerikan dari itu.”
“Maksudmu?” tanya Gavin.
“Apa kalian bisa mengingat mimpi dengan jelas?”