Gita sudah tiba di kampus, hari ini ia akan bertemu Pak Gun. Sendiri. Ia sudah menghubungi teman-temannya yang seperbimbingan dengan Pak Gun tapi mereka semua sudah menemuinya dua hari lalu dan baru akan bimbingan lagi minggu depan. Gita terlalu sibuk meratapi diri sehingga tertinggal dari teman-temannya. Lidya, Tia dan Rangga saja sudah bertemu dospem masing-masing, ini sudah hari ke-empat sejak surat dospem keluar dan Gita tidak mungkin mengulur-ulur waktu lagi sampai minggu depan. Ia harus segera memberitahu Pak Gun kalau ialah pembimbing skripsinya dan menyerahkan surat tugasnya. Memikirkan kenyataan kalau Pak Gun adalah dospemnya saja sudah membuat Gita mual.
Gita menatap jam di layar ponselnya, pukul delapan empat puluh satu. Semalam ia janji dengan Pak Gun jam sembilan tepat, ia sudah tiba di kampus jam delapan dua puluh tujuh. Belum ada lima belas menit menunggu ia sudah merasa seperti dua jam, waktu terasa berjalan begitu lambat baginya saat itu.
Ia duduk menunggu di depan ruang dosen di lantai tiga, ia mengenakan baju biru motif bunga dengan warna dasar putih. Dipadankan dengan jeans biru tua dan jilbab yang serasi dengan warna bajunya. Ia memakai sepatu flat shoes berwarna abu-abu, sepatu itu ia beli di pasar malam belakang masjid kampus saat ia semester lima. Gita naksir berat waktu melihat sepatu tersebut terpampang di etalase salah satu stand. Sayangnya, uang yang ia bawa tidak cukup karena ia sudah membeli tiga novel dan terlalu banyak membeli pernak-pernik kamar yang sesungguhnya tidak ia butuhkan sama sekali. Saat ia mau meminjam uang ke Tia, Gilang menawarkan uangnya untuk dipakai. Hingga saat ini, Gilang tidak pernah mau uang itu diganti.
Gita membawa ransel abu-abu kesayangannya, pemberian ibunya sebelum berangkat ke kota tempat ia kuliah. Ia juga membawa tas kain yang berisi berkas skripsinya juga dua buku sumber yang dibutuhkan. Ia telah matang mempersiapkan segala hal terkait kajian skripsinya. Membaca data, mengulang-ulang analisis, memahami definisi, beribu kali mengecek analisisnya, sebagai amunisi jikalau Pak Gun menyerang skripsinya.
Jam menunjukkan pukul sembilan lebih satu, Pak Gun belum juga datang. Tumben sekali dosen itu, pikir Gita, tidak biasanya dia telat. Pak Gun sangat tepat waktu, saking tepatnya, belum waktunya tiba ia sudah tiba duluan. Jika janjian dengannya jam sembilan tepat, biasanya ia pasti sudah tiba jam sembilan kurang lima belas menit. Ia mungkin dosen Gita yang paling tepat waktu, bisa saja ia dosen paling tepat waktu di jurusan ini, atau di kampus ini. Bahkan mungkin saja ia orang yang paling tepat waktu di dunia ini yang pernah Gita temui.
Gita kembali melirik jam di ponselnya, pukul sembilan lebih empat menit. Ia mulai khawatir, ia melihat ke sekelilingnya, kampus mulai ramai namun tidak ada tanda-tanda kehadiran Pak Gun. Ia kemudian menoleh ke ruang dosen, ruangan itu kosong, tidak ada satupun penghuni di dalamnya. Gita mulai curiga, jangan-jangan ia tidak bisa ke kampus tapi tidak memberitahunya. Ia ingin mengirim pesan lagi ke Pak Gun menanyakan pertemuan hari ini apakah jadi atau tidak namun diurungkannya. Nanti sajalah kalau sudah lebih sepuluh menit, pikirnya.
Yang ditunggunya tak kunjung datang, Gita lantas ingin ke toilet. Ia sempat menahan pipis sedari tadi saking khawatirnya akan bertemu Pak Gun, kini ia sudah tak kuat menahannya lebih lama lagi. Saat berjalan menuju toilet yang letaknya diujung koridor, samar-samar Gita melihat sosok pria jangkung di sana sedang berjalan tergesa ke arahnya. Melihat itu, Gita langsung gelagapan balik kanan dan bersembunyi di balik tembok dekat tangga. Itu Pak Gun! Gita melihat arlojinya menunjukkan pukul sembilan tiga belas menit. Ia mengintip lagi dari balik tembok, memicingkan mata, memastikan jika pria tersebut memang Pak Gun, belakangan ini penglihatannya memang rada kacau.
Gita bersiap, ia akan berpura-pura berpapasan dengannya dan mengaku sudah menunggunya di tangga sedari tadi. Tidak berpura-pura juga sih, toh ia memang sudah menunggunya dari setengah sembilan. Gita siaga, tubuhnya sudah tegap, tas kain berada di dekapannya, ia menarik napas dan menghembuskannya. Tarik lagi hembuskan lagi. Jantungnya berdetak kencang. Kaki kanannya sudah berada di anak tangga teratas, tangan kanannya memegang ponsel. Rencananya, ia sedang mengetik pesan WhatsApp untuk Pak Gun ketika kemudian mereka berpapasan.
Saat ia mulai melihat bayangan orang dari sebelah kiri muncul dan mendengar suara langkah sepatu, Gita langsung mengangkat kaki kirinya menaiki satu anak tangga terakhir dan pura-pura menatap layar ponsel.
“Gita!” Sebuah suara memanggilanya, dan itu bukan suara Pak Gun.