DOSEN SASTRA INGGRISKU

Ana Gustiana
Chapter #6

BAB 6: Bimbingan Pertama

Gita kembali melongok ke ruang dosen. Itu dia, dia melihat Pak Gun di sana, seorang diri, tengah bersandar di kursi ujung dekat jendela dengan laptop di depannya. Tangan kirinya terlipat di atas lengan kursi, tangan kanannya memegang gelas, sambil minum, matanya tidak beralih dari layar laptop di hadapannya. Kali ini Gita yakin kalau itu adalah Pak Gun, karena tidak mungkin juga ada mahasiswa yang begitu santainya tengah duduk di ruang dosen sendirian sambil menikmati se-mug entah minuman apa. Jantungnya kembali tidak karuan, namun ia memberanikan diri masuk.

“Permisi, Pak.” Sapa Gita. Pak Gun mengalihkan pandangannya dari laptop ke arah pintu.  

“Masuk, Git.” Jawab Pak Gun. Gita masuk, menghampirinya, berdiri di dekatnya. “Duduk.” Pak Gun mempersilahkannya duduk dengan pandangan tetap ke layar laptop. Gita duduk di kursi di sampingnya, menyisakan satu kursi di antara mereka, ia memperhatikan layar laptop Pak Gun, terpampang tulisan Strong, fixed, and weak collocations. Gita agak kaget, itu buku elektronik English Collocations in Use Advanced-nya O’Dell dan McCarthy, Gita tahu itu, karena itu adalah salah satu buku sumbernya. Kajian tentang skripsinya.

“Kemarin kita janjian jam berapa ya, Git?” Tatapan Pak Gun masih tidak berpaling dari laptop.

“Pak, tadi saya udah nungguin Bapak di depan ruangan ini dari setengah sembilan, pas jam sembilan lewat dua saya liat ke dalam lagi tapi masih ga ada orang, jadi saya tinggal ke toilet. Di toilet saya ketemu temen saya yang ngeliat Bapak udah di kampus dari setengah sembilan, yaudah saya cari-cari Bapak sampe ke ruangan ini lagi.” Jawab Gita memelas.

“Kamu cari-cari saya ke mana aja?” Pak Gun masih menatap laptop.

“Ke sekitar lantai tiga, di selasar, saya ngecek ke kelas-kelas juga.” Agak takut Gita menjawabnya, jelas dia tidak kemana-mana, hanya menunggunya di depan ruang dosen.

“Orang saya dari jam sembilan kurang udah di sini kok.” 

“Pak, beneran. Tadi jam sembilan lewat dua, saya mastiin banget jam di hp, saya ngeliat ke sini ga ada Bapak, ga ada siapa-siapa malah.”

“Saya dari jam sembilan kurang udah ada di sini sama Pak Mus.”

“Tapi tadi saya liat ke sini ga ada siapa-siapa, Pak.”

“Kamu nyarinya ga bener kali.” 

“Iyaa mungkin kali, Pak, orang saya udah liat dari pintu ga ada Bapak.” Suara Gita yang tadinya ngotot mulai melemah.   

“Kenapa melihat dari pintu, kenapa tidak masuk?”

“Yaa, karena saya pikir takutnya ga sopan, Pak, masuk begitu aja ke ruang dosen. Apalagi ga ada siapa-siapa tadi, makanya saya cuma lihat dari pintu aja.” 

“Kalau begitu, itu namanya kamu bukan mencari, tapi melihat. Kalau kamu mencari, kamu berusaha mendapatkan sesuatu sekuat tenagamu, termasuk dengan masuk ke ruang dosen ketika mencari saya walau kamu pikir itu tidak sopan. Kalau melihat, ya hanya memandang saja, menggunakan mata, tidak ada usaha di situ.”

“Iya, Pak.” Gita pasrah.

“Trus, kamu ada apa mau ketemu saya?” Pak Gun memutar kursinya tiga puluh derajat menghadap Gita, baru kali itu dia memandangnya.

“Oh, ini, Pak.” Gita membuka tas kainnya dan mengeluarkan map plastik dari dalamnya, ia lalu menyerahkan surat tugas pembimbing ke Pak Gun. “Ini surat tugas pembimbing dari kaprodi, Pak. Saya dapet dospem, Bapak.”

Pak Gun mengambil surat itu, membacanya. Gita memperhatikannya dengan jantung yang masih berdegup-degup, darahnya terasa mendidih. 

“Yaudah ini saya terima.” Ia lalu meletakkan surat tersebut di atas meja dan kembali berpaling ke laptopnya.

Gita bengong, juga bingung, apakah pertemuan ini selesai sudah. Pertemuan yang ia siapkan dengan paripurna, sampai terjadi sedikit drama, namun berakhir hampa. Seharusnya Pak Gun menanyakan soal skripsinya juga, membahas apa, judulnya apa, menggunakan teori siapa, sumber datanya dari mana, bukan hanya menerima suratnya saja. Gita memberanikan diri bertanya lagi.

“Hmm, trus skripsi saya gimana, Pak?”

“Ya kamu kerjakan.”

“Ini bab satunya udah, Pak, mungkin Bapak mau liat dulu.”

“Bab satu itu kan emang udah waktu kamu kuliah Research Method dan Seminar.”

Gita kehabisan akal.

“Terus, jadi gimana ya, Pak?” Gita mulai khawatir.

“Kamu bikin bab empat lah, gimana kamu mau nyusun bab satu sampai tiga kalau bab empatnya belum selesai.”

“Emang langsung ke bab empat gitu ya, Pak.”

“Iya dong, bab empat itu intinya, kalau bab empat sudah selesai kamu akan mudah mengerjakan bab lainnya. Kalau kamu mengerjakan bab satu sampai tiga dulu, nanti ketika kamu menganalisis bab empat ada perubahan di teori, metode, atau pengumpulan data, kamu jadi harus mengubah bab satu sampai tiga lagi, jadi kerja dua kali.” Pak Gun masih menatap layar. “Bab empat kamu udah selesai?”

 “Belum, Pak, baru bab satu.”

“Yaudah kamu buat bab empat dulu, nanti kalau udah selesai baru kasih saya.”

“Baik, Pak. Hmm, mungkin ada saran atau apa gitu, Pak, buat nyusun bab empat.” Gita berharap wejangan dari Pak Gun.

“Kamu udah lulus Seminar kan?”

“Udah, Pak.”

“Ya kalau udah lulus Seminar udah pasti bisa nyusun bab empat.”

Lihat selengkapnya