DOSEN SASTRA INGGRISKU

Ana Gustiana
Chapter #7

BAB 7: Unjuk Rasa

“Jadi lu nungguin aja di depan ruang dosen padahal Pak Gun udah ada di dalemnya?” Rangga dan yang lain tidak hentinya tertawa ketika Gita menceritakan pertemuannya yang lalu dengan Pak Gun. Mereka tengah berjalan dari fakultas menuju perpustakaan utama.

“Nyebelin banget ga sih itu dia, gua udah setia banget nungguin dia di sana, setengah jam lebih, pas dia ngeliat gua bukannya negor atau manggil atau apa gitu, malah ngeliatin doang, trus lewat begitu aja.” Gita merutuk.

“Tampang lu beneran serem kali, Git, waktu bengong, makanya dia jadi sungkan negor lu.” Tia meledek.

“Mirip Ibu kali, Git.” Rangga menambahkan, menyebut salah satu peran seorang ibu di film horror Indonesia tahun 2017.

“Sembarangan aja lu.” Gita memukul lengan Rangga, alih-alih menyakitinya malah tangan Gita yang sakit.

“Tapi emang bener, Git, dia ngelewatin lu begitu aja? Maksudnya pas lu cek ke ruang dosen ga ada siapa-siapa kan? Mana tau dia bohong.” Ujar Tia.

“Gua sempet curiga begitu, tapi dia bilang di sana berdua sama Pak Mus, katanya kalau ga percaya suruh tanya aja sama Pak Mus, jadi ya kayaknya bener.” Gita kecewa, ia sempat curiga juga Pak Gun membohonginya.

“Lu emang ga ngecek sampe ke dalem, Git?” Lidya bertanya.

“Enggak, dari pintu doang. Soalnya di dalem engga ada siapa-siapa, gua sendiri pula, jadi gua sungkan gitu masuknya.” Jawab Gita.

“Gimana bisa yang tadinya lu liat engga ada tiba-tiba jadi ada, horor gitu ruang dosen?” Tia mengangkat bahunya seolah-olah begidik.

“Gini, lu tau ga, lemari skripsi yang di ruang dosen, yang gede banget itu. Nah, kayaknya di belakangnya masih ada space gitu deh.” Lidya menerka.

“Masa? Di sebelah mananya?” Rangga penasaran, juga Gita dan Tia.     

“Pas di belakangnya mungkin, gua belom pernah liat emang, cuma Mam Evi pernah cerita, itu dibikin buat ruang solat dosen, sama buat dosen istirahat, buat selonjoran gitulah, lumayan luas juga dan emang dibikin se-cozy mungkin, jadi katanya banyak yang pada betah di sana.” Jelas Lidya.

“Jadi maksud lu Pak Gun sama Pak Mus lagi cozy-cozy-an gitu di sana, sementara Gita menunggu di luar tanpa kepastian.” Rangga memulai, diikuti jotosan, pelototan dan tetap tertawaan lainnya.

“Astaghfirullahaladzim, Gaa, dosa bet lu, ngatain dosen begitu.” Tia menegur ucapan Rangga, walau ia tertawa juga.

“Parah lu, Ga.” Tambah Lidya.

“Lah, ngatain apaan sih, kan gua cuma bilang mereka lagi cozy-cozy-an, maksudnya lagi pada istirahat senyaman mungkin, sebelum entar ngajar, biar ngajarnya lebih fokus gitu.” Rangga membela. “Lu, lu aja yang pikirannya pada engga senonoh yee.”

“Soalnya lu yang ngomong, Ga, jadi orang-orang pikirannya pada ke sana.” Ujar Tia.

“Haha, ya Allah, sebegitunya yaa image gua.” Rangga menertawai diri sendiri.

Saat hampir tiba di perpustakaan, mereka mendengar keriuhan di ujung jalan, di sana mereka melihat kerumunan mahasiswa tengah berkumpul di lapangan Student Center. Para mahasiswa tersebut rapi mengenakan jaket almamater, membawa bermacam-macam bendera juga poster warna-warni dengan tulisan kritis hingga nyeleneh, dan memakai ikat kepala bertuliskan tagar Save KPK. Mereka meneriakan kata-kata mulai dari reformasi, revolusi, DPR begini, pemerintah begitu, merdeka, jangan lemahkan, dengan orasi yang dipimpin tentu saja oleh orang yang sangat Gita dan yang lain kenal, Faiz.

“Si Faiz kayak ga ada beban banget yaa idupnya, anak se-angkatan kita mah lagi pada senewen nyusun skripsi, dia malah asik-asik mimpin demo.” Rangga terkesima. Mereka dan banyak mahasiswa lain yang tidak ikut berdemo berhenti melihat pemandangan di hadapannya dari kejauhan. Mereka menyaksikan orasi Faiz, Sang Presiden BEM, yang ditemani oleh wakilnya, Ira, anak FISIP, meminta mahasiswa dan seluruh rakyat Indonesia bersatu menolak revisi UU yang diduga akan melemahkan KPK.

Lihat selengkapnya