Gita dan teman-temannya tiba di perpustakaan utama. Mereka langsung mengambil tempat kosong di sana, meja persegi yang dikelilingi sepuluh kursi. Mereka lalu berpencar ke lorong-lorong rak buku, mencari sumber kajian untuk bahan skripsinya. Waktu menunjukkan pukul sembilan lewat empat puluh lima menit, masih pagi, perpustakaan belum terlalu ramai.
Gita langsung mengarah ke bagian skripsi, ia ingin memastikan lagi jumlah halaman bab satu mahasiswa lain. Gita yakin, bab satu kebanyakan mahasiswa memiliki tujuh sampai sepuluh halaman, ia sudah sering melihat-lihat skripsi tersebut dari semester lima.
“Lid,” Gita memanggil pelan Lidya yang tidak jauh berada di sampingnya.
“Hmm,” Lidya menjawab Gita dengan tidak berpaling dari skripsi yang tengah dilihatnya.
“Bab satu lu berapa lembar deh?”
“Tujuh”
“Oh.” Gita mengangguk-angguk.
“Kenapa emang?” Lidya balik bertanya.
“Bab satu gua sepuluh halaman dan kata Pak Gun kebanyakan, gua disuruh bikin ga lebih dari lima lembar.”
“Gua juga awalnya sembilan lembar sih, kata Mam Evi kebanyakan, jadi gua ringkas jadi tujuh.”
“Trus di-acc?”
“Iya.” Lidya meletakkan kembali skripsi yang dilihatnya tadi. “Lu ringkas aja jadi tujuh atau enam, lima kayaknya kedikitan deh.”
“Masalahnya Pak Gun mintanya ga lebih dari lima, gua jadi bingung mau nulis apa. Udah gitu penting semua lagi yang udah gua susun di bab satu itu.”
“Ya lu ringkas lagi aja seringkas-ringkasnya, yang penting kan di-acc sama dospem. Perihal yang penting, lu simpen aja di otak, buat amunisi kalau dihajar sama penguji ntar.” Lidya meninggalkannya dan berpindah ke lorong sebelah.
Gita berpikir keras, bagaimana caranya meringkas seringkas-ringkasnya sepuluh lembar tulisan menjadi lima di saat semua yang tertulis di sana adalah esensinya.
“Eh, Lid,” Gita menghampiri Lidya lagi. “Gua masa disuruh langsung bikin bab empat sama Pak Gun, bab yang lainnya belakangan aja katanya. Lu sama Mam Evi gimana?”
“Sama gua juga, abis kemaren bab satu gua di-acc, Mam Evi bilang langsung ke bab empat aja. Intinya kan di situ, bab satu sampe tiga mah tinggal copas-copas juga jadi.” Lidya masih sibuk mencari-cari skripsi.
“Enak banget ya lu, bab satunya udah pada di-acc, gua doang yang belom.” Gita bersedih.
“Git, mending yang Pak Gun suruh lu kerjain dulu aja deh, walau mungkin bertentangan dengan keinginan lu.” Lidya mencoba menghibur Gita, walau dia sendiri bingung apa yang harus dikatakannya. “Enggak penting apa yang tertulis di atas kertas, ya bukannya ga penting sih, maksud gua yang terpenting apa yang ada di otak kita, pengetahuan kita. Jadi bagaimanapun yang tertulis di skripsi lu, kalau lu bisa membuktikannya, mempertanggung jawabkannya, semuanya bakalan lancar. Lu bisa kok, lu pinter. Jadi lu ikutin dulu aja keinginannya Pak Gun, ribet pasti, tapi ya mau gimana lagi. Ada aja emang tipikal dosen-dosen begitu, nyusahin mahasiswa.”